Setiap penyelenggaraan pesta demokrasi Pilkades, Pilkada, Pilpres, Pileg tidak terlepas dari kerumunan massa sejak pendaftaran, deklarasi, kampanye dan pelaksanaan pemungutan suara. Artinya pesta demokrasi itu identik dengan kerumunan massa.Â
Pesta ini juga sebagai panen raya bagi para seniman dan musisi ibukota, daerah yang kebanjiran undangan pentas. Tidak ketinggalan para pelaku UMKM bidang konveksi kaos, sablon, kerajinan tangan, makanan khas daerah juga kecipratan rejeki karena mendapat orderan souvenir.
Konser musik sering diadakan sebagai ajang komunikasi politik yang efektif bagi paslon untuk menyampaikan program, janji politik dengan para pendukungnya. Konser musik sebagai tontonan gratis yang paling ditunggu, sekaligus menjadi hiburan.Â
Mereka datang di tempat acara tujuannya bukan mendengarkan isi pidato para jurkam, tetapi sekedar menonton konser musik. Konser musik khususnya dangdut menjadi favorit bagi rakyat, karena irama gendang yang spontan dapat menggoyang penonton.Â
Konser musik dangdut menjadi magnit untuk mengumpulkan massa. Apalagi ada artis idola, cantik, suara merdu, kostum ketat meperlihatkan lekuk tubuh, make up menor walau disiang bolong.
Selain konser musik dangdut, dalam pesta demokrasi ada arak-arakan kendaraan roda dua, knalpot blombongan sangat memekakkan telinga. Mereka berkendara tanpa helm, berboncengan 3 (tiga) orang, dan memenuhi jalan raya. Mereka tidak bising telinganya karena telah disumpel kapas.Â
Dalam kondisi seperti ini sering terjadi gesekan antar pendukung/simpatisan dari paslon dan masyarakat yang merasa terganggu. Padahal andaikan jagoannya menang pun mereka yang kebanyakan pemilih pemula tidak menikmati kemenangan. Apa yang dicari pemilih pemula karena ulahnya, bisa jadi mengurangi rasa simpati masyarakat untuk paslon tersebut?.
Namun Pilkada tahun 2020 pelaksanaannya berbeda, mengingat pandemi Covid-19 masih mewabah. Protokol kesehatan menjadi keharusan yang harus diterapkan agar mata rantai Covid-19 benar-benar terputus.Â
Pilkada 2020 tanpa kerumunan massa, mengadakan konser musik dangdut di lapangan terbuka. Pilkada saat tidak lagi dapat mengklaim berapa juta orang yang hadir secara fisik, tetapi berapa  "follower" di media sosial (twitter, facebook, Instagram, youtube). Teknologi informasi dan komunikasi menjadi andalan untuk menyampaikan program andalannya.
Oleh karenanya paslon perlu berkolaborasi dan merangkul generasi milenial yang familiar dengan teknologi informasi dan komunikasi. Paslon dilarang mengumpulkan orang dalam jumlah banyak, tetapi dibatasi maksimum 30 orang.Â
Kampanye secara daring, virtual suka tidak suka, mau tidak mau harus diterapkan. Media sosial menjadi medium para paslon untuk memperkenalkan, menyapa, dan menyampaikan visi, misi, ditengah pandemi Covid-19. Termasuk konser musik dapat dilakukan secara virtual, sehingga para musisi, seniman mendapat honor dari perhelatan Pilkada 2020. Â
Masalahnya, apakah sudah siap memanfaatkan TI secara maksimal pelaksanaan kampanye secara daring ?. Kampanye melalui media sosial lebih efektif, efisien dari segi waktu, tenaga, dibandingkan kampanye konvensional.Â
Namun masih mempunyai kendala jaringan internet, infra struktur, SDM yang "melek teknologi". Kesenjangan antara "software, hardware, brainware", masih nampak nyata antara wilayah Indonesia bagian barat, tengah, dan timur, termasuk di daerah 3 T (terdepan, terluar dan terbelakang).
Selain itu diakui semua orang mempunyai smartphone, jangankan membelinya, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan pun mereka masih berjibaku. Kondisi ini dapat berkaca pada model Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), yang diterapkan pada masa pandemi.Â
Walaupun di perkotaan smarphone dan pulsa sudah menjadi kebutuhan pokok, kenyataannya masih menjadi barang mewah bagi orang kebanyakan. Tantanga bertambah bagi paslon di daerah yang letak geografisnya pulau-pulau, terpisah oleh sungai, selat, danau. Â
Paslon Pilkada 2020 idak dapat leluasa untuk menggalang massa karena berpotensi menjadi klaster Covid-19. Kalaupun kampanye lewat media sosial ternyata masih banyak kendalanya juga.Â
Padahal kalau tetap melakukan kampanye konvensional sudah disiapkan sanksi hukum. Berdasarkan Peraturan KPU yang per 23 September 2020 dilarang kampanye dengan konser musik.Â
Artinya bila ada paslon yang masih menggalang massa, dengan hiburan konser musik maka dapat dikenakan sanksi berupa peringatan tertulis, dan/atau penghentian dan pembubaran kegiatan  oleh Bawaslu Propinsi, atau Bawaslu Kabupaten/Kota.
Selain itu paslon dan partai pengusung dilarang melakukan iring-iringan dalam menghadirkan massa. Hal ini karena dalam kerumunan massa protokol kesehatan (memakai masker, menjaga jarak aman, mencuci tangan dengan sabun) sering diabaikan.Â
Disinilah paslon dan anggota partai pendukung mempunyai peran untuk memberi contoh langsung menerapkan protokol kesehatan. Apabila semua pihak mempunyai kesadaran, disiplin dan komitmen tinggi untuk melawan pandemi Covid-19, maka Pilkada 2020 terlaksana dan Covid-19 segera berakhir, kehidupan kembali normal.
Yogyakarta, 30 September 2020 Pukul 0.04
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H