Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyandang Sebutan "Profesor" dan "Pakar" Perlu Proses

9 Agustus 2020   18:48 Diperbarui: 9 Agustus 2020   18:47 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: pixabay.com

Di era TI semua dapat tersambung tanpa sekat wilayah, daerah, negara, ruang dan waktu. TI diakui memberi manfaat positif untuk kehidupan umat manusia, karena semua aktivitasa dapat dilakukan secara cepat, mudah, murah, dan transparan. Peristiwa di ujung dunia sekalipun dapat langsung ditayangkan secara real, nyata dari tempat kejadian. 

Selain itu ucapan, tulisan, rekaman, yang diposting melalui media sosial, pada saat itu juga dapat terlihat, terbaca dan terdengar melalui gadget. Disinilah perlu filter dengan hati nurani sebelum memposting konten, agar tidak menjadi bumerang yang dapat dijerat pasal-pasal dari UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

TI bagaikan pegang bermata dua, mempunyai manfaat positif, sekaligus negatif yang dapat merugikan siapapun, sehingga berurusan dengan pihak berwajib, baik disengaja maupun tidak disengaja. 

Disengaja karena sudah ada niat untuk melakukan tindakan melawan hukum. Sedang tidak disengaja, karena ke-tidaktahuan, tanpa hak, tidak ada niat melawan hukum, tetapi tindakannya terkena pasal-pasal sebagai perbuatan yang dilarang seperti tercantum dalam UU No.11 Tahun 2008. 

Ketentuan larangan ini tertuang dalam pasal 27 sampai 37: "tanpa hak dan dengan sengaja mendistribusikan informasi yang melanggar kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, ancaman, menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. Menyebarkan informasi berisi SARA, mengakses sistem informasi orang lain, menjebol sistem pengamanan, melakukan penyadapan dan lain-lain". 

Belum lama ini seorang musisi, publik figur ada dugaan tersandung pasal tentang menyebarkan berita bohong (hoaks) dan menyesatkan. Apa yang dilakukan publik figur tersebut berdampak sangat luas karena  mempunyai fans (penggemar, pengagum), padahal yang diposting masih perlu klarifikasi. Oleh karenanya perlu lebih hati-hati dan bijaksana dalam setiap ucapan, tindakan, sikap, perilaku yang di upload di media sosial. 

Awalnya publik figur tersebut  mewawancarai seseorang dengan menyebut sebagai "Profesor" dan "Pakar Mikrobiologi", yang berkaitan dengan obat Covid-19 dalam kanal Youtube. Padahal sampai hari ini Covid-19 belum ada obat dan vaksinya, sehingga isi wawancara itu membingungkan masyarakat.

Bukan hanya masyarakat awam yang bingung, para akademisi pun mempersoalkan sebutan istilah "Profesor" dan "Pakar Mikrobiologi". Artinya untuk memakai istilah tersebut tidak boleh diberikan kepada orang yang tidak mempunyai hak dan kapasitas secara ilmiah, yang dibuktikan dengan karya ilmiah, diakui masyarakat ilmiah. 

Istilah "Profesor" adalah pangkat dosen tertinggi di perguruan tinggi, guru besar, mahaguru, sedangkan istilah "pakar" itu berarti ahli, spesialis (KBBI). Artinya menggunakan istilah tersebut perlu mengetahui latar belakang pendidikan dan perjalanan karir akademik. Hal ini karena untuk mencapai jenjang "Profesor" (guru besar) harus memenuhi seabrek persyaratan dan proses panjang, yang dibuktikan Surat Keputusan (SK) Presiden RI.

Seseorang dapat menyandang sebutan "Profesor" mempunyai konsekwensi dan tanggung jawab secara ilmiah.  Diperlukan daya juang dan pengorbanan pikiran, tenaga, waktu luar biasa, untuk memproduksi karya-karya ilmiahnya dari hasil penelitian. 

Hasil karya ilmiah berupa buku (cetak, elektronik) dan jurnal ilmiah terakreditasi  Nasional dan/atau Internasional (Scopus). Karya-karya ilmiah tersebut masih dinilai oleh Tim Penilai Jabatan Fungsional Dosen di Perguruan Tinggi dan Tim Pusat Mendikbud. Perlu diketahui karya-karya ilmiah harus asli, karya sendiri bukan karya orang lain, hasil plagiat.

Untuk mendeteksi asli, orisinil, atau  presentase plagiat karya ilmiah di perguruan tinggi di dunia menggunakan aplikasi Turnitin. Dari aplikasi itu dapat diketahui prosentase tingkat plagiatnya dan di alinea mana saja dapat terdeteksi. 

Hasil deteksi Turnitin tidak boleh lebih dari 20 persen misalnya, bila lebih maka karya ilmiah tersebut tidak dapat dinilaikan untuk mendapat angka kredit. Seorang mempunyai sebutan "Pofesor" bila telah mengumpulkan minimum  850 angka kredit yang berasal dari unsur pendidikan dan pengajaran, kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat.   

Sedangkan untuk mendapat sebutan "Profesor", menurut Permenpan No.46 Tahun 2013 pasal 26 ayat 3, syarat untuk mencapai jenjang Profesor/Guru Besar, memiliki ijazah Doktor (S3) ataua yang sederajat,  paling singkat 3 (tiga) tahun setelah memperoleh ijazah Doktor (S3), memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi, dan memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 (sepuluh) tahun. 

Kemudian penyebutan "pakar" itu juga tidak setiap orang, karena mendapatkan sebutan spesialis, ahli itu juga melalui proses panjang, dengan pendidikan, latihan, workshop, dan pengalaman malang melintang menekuni ilmu sesuai dengan spesialisasinya.

Dengan demikian kalau ada orang yang namanya tidak pernah dikenal, apalagi tidak mempunyai prestasi akademik, tiba-tiba mendapat sebutan "Profesor" dan "Pakar", pasti masyarakat akademik segera menelusur melalui rekam jejak ilmiah dari databasenya. 

Kalau tidak ada nama, lulusan dari mana, riwayat pendidikan, jumlah karya ilmiah, maka sebutan tersebut dipertanyakan, dan dibantah oleh "Profesor" asli yang mempunyai ilmu dan kepakaran. 

Apalagi isi wawancaran itu tidak mempunyai landasan dan bukti secara ilmiah. Hal ini yang berpotensi membingungkan masyarakat awam. Jadi hati-hati untuk menyebut predikat "Profesor", atau "Pakar", karena di era TI ini sangat mudah untuk mencari dan mendeteksi kebenaran informasinya.  

Bukan hanya di bidang medis saja, karena semua ilmu  mempunyai jenjang tertinggi yang mendapat sebutan "Profesor", dan dapat disebut "Pakar" karena mendalami dan menekuni ilmunya secara konsekwen sesuai dengan etika profesi dan akademik. 

Sekali lagi siapapun perlu hati-hati sebelum memposting tulisan, rekaman, gambar di media sosial, karena "jari-jarimu adalah harimaumu", "berpikir sebelum memposting", agar masyarakat tidak semakin bingung dan tersesat.

Yogyakarta, 9 Agustus 2020 Pukul 18.40

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun