Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyiasati Pernikahan di Musim Pandemi Covid-19

22 Juli 2020   16:15 Diperbarui: 23 Juli 2020   19:55 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi:https://www.radarcirebon.com/2020

Musim pandemi Covid-19 tidak menyurutkan niat suci melaksanakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Tujuannya untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 

UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan perkawinan sah bila diakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Artinya nikah siri itu hanya sah secara agama Islam, tetapi secara hukum Indonesia belum sah karena belum dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Penganut agama selain Islam sesuai agama masing-masing dan dicatatkan menurut ketentuan yang berlaku.

Ada perubahan mendasar tentang syarat usia menurut UU No.1 Tahun 1974, bagi pria berusia 19 tahun, dan wanita 16 tahun.  UU No.16 Tahun 2019 tentang Perubahan UU No.1 Tahun 1974 syarat usia nikah antara pria dan wanita tidak ada perbedaan yaitu 19 tahun. 

Kenaikan syarat batas usia nikah dari 16 tahun ke 19 tahun bagi wanita ini agar secara fisik, psikis, biologis sudah siap, sehingga meminimalisir perceraian, mempunyai keturunan sehat, kuat dan berkualitas. 

Hak-hak anak (tumbuh kembang, kesehatan, pendidikan) dapat terpenuhi secara optimal. Disatu sisi juga menurunkan laju kelahiran, menurunkan resiko kematian ibu dan anak.    

Idealnya pernikahan dilakukan ketika syarat usia sudah terpenuhi sehingga matang secara jiwa, raga, mental, spiritual, emosional, biologis dan ekonomi. 

Tidak kalah menarik adalah melaksanakan pernikahan itu bukan sekedar bersatunya dua (2) insan, antara wanita dan pria, tetapi dua keluarga (termasuk keluarga besar) yang berbeda kebiasaan, adat istiadat, bahasa, budaya, suku, bahkan negara. 

Kondisi ini perlu dipahami karena friksi-friksi pernikahan di tahun pertama yang sering terjadi adalah masalah sepele, semestinya bisa dikomunikasikan secara terbuka dan diselesaikan secara musyawarah mufakat. Tidak menang-menangan, apalagi menonjolkan rasa ego yang tinggi.

Selain itu hal yang sering terjadi pesta nikahan acaranya lebih besar, megah, meriah, biaya tinggi dibandingkan acara nikahnya itu sendiri, cukup membayar Rp 600.000,-. Esensi pernikahan adalah akad nikah dan dicatat petugas yang berwenang. 

Sedang pesta pernikahan sebagai perwujudan rasa syukur atas terlaksanakan akah nikah. Manun pesta pernikahan menjadi manifestasi dari sepasang mempelai, orangtua/keluarga. 

Mulai dari EO, kostum, gedung, konsep, souvenir, dekorasi, dokumentasi, hidangan, tamu yang datang, bisa jadi tolok ukur asal-usul, gaya hidup, pangkat, derajat, kelas sosial pemilik hajad. Besar biayanya pun tergantung dari kualitas pilihan setiap item. 

Disini "prestige" orang tua dan mempelai dipertaruhkan dihadapan para tamu undangan.  Rela berkorban apapun dan berapapun untuk penyelenggaraan yang sekilas, sebentar, dan sesaat itu.

Melaksanakan pernikahan pada masa pandemi Covid-19 memang berbeda, karena harus mengikuti protokol kesehatan. Wajib menyediakan tempat cuci tangan di air mengalir dengan  sabun, cek suhu tubuh, memakai masker, jaga jarak, dan tidak menimbulkan kerumunan orang. 

Kondisi ini sebagai hal baru di Indonesia, yang mau tidak mau, suka tidak suka harus diikuti, agar pesta pernikahan itu tidak menjadi klaster baru penyebar Covid-19. Menunda pernikahan dan pesta sampai Covid-19 berakhirpun bukan solusi bijak karena belum ada yang mengetahui secara pasti. Haruskah menunggu datangnya "godot", yang tidak tahu kapan ?.

Bila menyadari masih ada Covid-19, tetapi pernikahan juga harus tetap dilaksanakan maka perlu siasat, dengan inovasi dan kreatifitas yaitu:

  • Melaksanakan akad nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam atau tempat lain sesuai ketentuan yang berlaku. Kalaupun harus mendatangkan petugas KUA tetap harus mengikuti atauran tidak lebih dari 30 orang.
  • Mengikuti keinginan anak milenial yang lebih suka simpel, praktis, cepat, tidak ribet dan repot, sehingga orang tua kedua mempelai harus berbesar hati dan ikhlas tidak perlu mengundang tamu demi prestige, dengan pesta besar dan meriah. Sejatinya bagi orang tua sebagai ajang silaturahmi, pertemuan reuni, nostalgia.
  • Uang untuk biaya pesta pernikahan yang sudah disiapkan lebih baik diserahkan untuk mempelai sebagai modal hidup berumah tangga. Masalahnya, biaya itu sebenarnya diada-adakan, dipaksakan dengan cara pinjam saudara, keluarga, bank.
  • Para pejabat, elit politik, public figure, selebriti, dapat memberi contoh menyelenggarakan pesta pernikahan dengan sederhana. Saat pandemi Covid-19 ini menjadi tantangan untuk mewujudkan pola hidup sederhana, mengingat masyarakat banyak hidup susah karena pandemi. Lebih terpuji kalau biaya pernikahan itu disumbangkan bagi para terdampak langsung pandemi untuk membeli sembako, pulsa, hp (bagi para siswa/mahasiswa) yang harus sekolah/kuliah daring.
  • Kalaupun tetap mengadakan pesta di gedung para tamu dengan sistem shift supaya tidak ada kerumuman orang banyak. Undangan terbatas khusus keluarga kedua belah pihak dan sahabat.
  • Di gedung tidak perlu ada hidangan prasmanan, cukup diberikan dalam box yang diberi kantong agar mudah dibawa. Para tamu datang, menulis buku tamu, memasukkan amplop, memberi ucapan selamat tanpa salaman dan cipika cipiki, ambil souvenir dan nasi box.
  • Mengadopsi konsep "drive thru", tanpa meninggalkan mobil/motor, untuk memberi ucapan selamat pada mempelai dan orangtua.
  • Pesta pernikahan diadakan dengan konsep "webinar", pesta pernikahan online dengan aplikasi zoom. Jadi para tamu tetap di rumah masing-masing dengan baju pesta dan rias wajah untuk mengikuti prosesi akad nikah. Cukup dengan laptop, notebook, smartphone, jaringan internet yang diundang lancar. Tidak perlu ada sumbangan, kalaupun ada yang kirim kado dan balasan souvenir dikirim lewat jasa pengiriman. Bila ada yang kirim sumbangan uang minta nomor rekening secara japri/DM.  

Diakui, tidak adanya pesta pernikahan ini membuat pemilik sewaan alat pesta, pengusaha catering, buruh pencuci alat pesta, tukang masak, pemilik gedung, office boy gedung/hotel, kehilangan pekerjaan dan pendapatan. 

Disinilah simalakama antara tarikan kepentingan kesehatan dan gerakan roda ekonomi. Semua penting dan saling mendukung, sehingga harus berjalan beriringan tanpa saling merugikan. Oleh karenanya Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) perlu terus disosialisasikan dan masyarakat diberi edukasi, contoh nyata dari para ulama, umaro, selebriti, dan public figure.

Yogyakarta, 22 Juli 2020 Pukul 16.07

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun