Pagi ini matahari sudah memancarkan sinarnya langsung ke bumi, langit biru cerah, dan angin sepoi, bertepatan  umat Islam merayakan kemenangan setelah sebulan penuh melaksanakan puasa Ramadan. Hari spesial ini sangat berbeda dengan lebaran tahun sebelumnya, menjadi pengalaman berharga, istimewa, menarik karena seumur hidup baru mengalami kondisi  tidak seperti biasanya. Sungguh luar biasa, dapat menjadi kenangan, sejarah bagi setiap orang yang mengalami dan merasakan suasana ini.
Biasanya jam 05.30 jalan depan rumah mulai dilewati umat Islam menuju tanah lapang di tengah komplek. Wajah ceria, dengan baju terbaiknya untuk melaksanakan sholat sunat 2 raka'at dengan takbir 7 (tujuh) kali  roka'at pertama, dan takbir 5 (lima) kali di roka'at kedua . Usai sholat mendengarkan kutbah hikmah Idul Fitri oleh ustad yang mengimani sholat.
Namun lebaran tahun 2020 lapangan di komplek itu kosong, sepi, tidak ada orang yang datang, masjid terkunci. Pagi ini tidak ada keramaian merayakan kemenangan setelah sebulan puasa Ramadan. Semua ini akibat pandemi Covid-19, menurut protokol kesehatan kerumunan orang  untuk sholat Idul Fitri berpotensi menyebarkan virus corona.
Baru pertama kali sholat Idul Fitri di rumah saja. Sepertinya  ada yang hilang, hampa, haru, sedih, yang sangat terasa di dalam lubuk hati. Namun demi menjaga kesehatan dan terhindar dari paparan Covid-19, mau tidak mau, suka tidak suka harus mengikuti aturan yang dibuat pengambil kebijakan. Virus yang tidak kasat mata ini sangat serius dapat menyerang siapapun bila stamina badan kurang baik. Kita wajib bersyukur, dapat mengalami lebaran 2020 yang berasa  nano-nano (sedih, hampa, sepi, kosong), sungguh hanya dapat dirasakan, susah diurai dengan kata-kata.
Walau ada yang sengaja dan/atau tanpa sadar telah membebaskan diri dari aturan PSBB, dengan berkumpul di mall membeli baju baru, melakukan perjalanan mudik yang nyata-nyata sudah dilarang pemerintah. Pastinya ancaman Covid-19 tidak dapat disepelekan, walau tidak perlu "paranoid", dan wajib membiasakan/membudayakan pola hidup sehat dan bersih bagi setiap orang.
Rangkaian ritual lebaran setelah sholat Idul Fitri bersalaman-salam, cipika, cipiki dengan keluarga, tetangga, saudara dekat, saudara jauh, kolega, komunitas dalam suatu ajang silaturahmi "Halal Bi Halal", ditiadakan. Walau menu favorit ketupat, lontong, lauk opor ayam, sambel goreng krecek, rendang, semur, krupuk udang masih dihidangkan. Minuman aneka rasa sirup, teh panas, air putih dengan aneka cemilan yang dihidangkan di meja tamu, tertata rapi dan dimakan sendiri.
Tidak lupa uang baru dimasukkan amplop dibagikan kepada orang tua, saudara, anak, cucu, ponakan, dibagikan lewat kiriman tranfer antar bank. Berbagi itu menyenangkan, indah, lega, puas, beban terasa ringan, apalagi yang tepat sasaran. Uang Rp 100.000,- bagi orang mampu tidak berarti, tetapi sangat memberi makna ketika uang itu ditangan orang yang sangat membutuhkan. Harta yang kita miliki itu ada hak kaum papa sebesar minimum 2,5 persen yang harus dibayarkan sebagai zakat maal.
Namun karena Pandemi Covid-19 telah merubah ritual dan model silaturahmi  dari ketemu dan mengunjungi secara fisik, temu darat, berubah menjadi pertemuan virtual. Kondisi ini dapat menjadi tolok ukur tingkat "kemelekan digital"/literasi digital, tiap-tiap keluarga. Artinya hanya orang yang sudah "melek digital" dapat melakukannya. Biasanya melek digital ini lebih didominasi generasi milenial. Modalnya jaringan internet menjadi kebutuhan yang sangat vital.
Jadi kalau dalam keluarga itu ada anak milenial tentu dapat muncul di silaturahmi trah keluarga secara digital, karena mereka yang memainkan peran. Para orang tua tinggal duduk manis  mengikuti acara silaturahmi digital. Sebaliknya bila tidak ada anak milenial dan orang tua tidak ingin belajar memanfaatkan teknologi, tentu tidak muncul dalam acara tersebut. Â
Model silaturahmi lebaran 2020, tidak ketemu secara face to face, tetapi ketemu secara online. Ada rasa yang berbeda karena kita tetap berada di rumah, tanpa harus keluar rumah yang banyak gangguan sejak persiapan, perjalanan, dan setelah sampai di tempat acara, sehingga waktunya sering molor.
Silaturahmi trah memanfaatkan aplikasi "Zoom", yang sedang "trend", selama pandemi Covid-19 sesuai protokol kesehatan dengan stay at home, PSBB, dapat mengobati rasa rindu setelah lebih 3 (tiga) bulan tidak bertatap muka.
Silaturahmi online menghindari kerumuman massa yang dapat menularkan virus corona. Bila terjadi ledakan pasien Covid-19, karena "kengeyelan" warga, yang kasihan tenaga kesehatan (nakes) sebagai garda terakhir menangani Covid-19. Para nakes telah berjuang dan berkorban meninggalkan keluarga, dan mempunyai resiko paling besar terpapar Covid-19. Marilah kita bantu dengan doa, memberi APD dan berdiam di rumah saja, biar mereka yang bekerja, jangan menambahi bebannya yang sudah sangat berat.
Silaturahmi digital pasti mempunyai kerugian/keuntungan. Kerugiannya, lebih ke masalah rasa dan sikap. Aplikasi baru ini perlu sikap untuk cepat beradaptasi memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Soal rasa, tidak bisa ketemu secara fisik, kangen dengan celotehan spontan yang lucu-lucu, cerita-cerita sambil makan cemilan dan minum teh panas.
Keuntungannya, silaturahmi digital ini dilakukan dari rumah masing-masing, sehingga tidak perlu keluar bensin, dan yang menjadi moderator acara tidak perlu menyediakan aneka jamuan. Secara ekonomis menghemat pengeluaran (biaya), karena tidak perlu menyediakan konsumsi, sejumlah peserta. Walaupun biasanya beban konsumsi ini ditanggung keluarga penyelenggara secara bergiliran.
Pengeluaran lebaran tahun 2020 lebih sedikit dari tahun-tahun sebelumnya, apalagi tidak perlu biaya mudik, kuliner bareng keluarga tidak dapat dilaksanakan tahun ini. Intinya lebaran tahun 2020 menjadi moment istimewa, khususnya soal silaturahmi digital.
Yogyakarta, 25 Mei 2020. Pukil 22.41 Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H