Kekayaan yang tidak dapat dinilai dengan rupiah , karunia terindah, ternikmat adalah sehat. Sehat disini bukan hanya sehat secara fisik, yang bebas dari penyakit, tetapi sehat psikis, mental, spiritual dan sosial. Artinya orang sehat tidak diukur kondisi fisiknya, tetapi mengenal dirinya sendiri (siapa saya/who am I).Â
Orang yang mengenal dirinya, dapat menghadapi tekanan, Â cepat beradaptasi, dapat bermanfaat, produktif dan mampu berkontribusi dengan lingkungannya. Sehat secara fisik yang diiringi dengan sehat psikis, mental, spiritual dan sosial ini menjadi kondisi sehat yang ideal. Ada ungkapan:"Di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat (Mens sana in corpore sano)". Â
Orang sehat dapat melakukan aktivitas yang  memberi manfaat bagi dirinya maupun orang lain. Sebaliknya ketika kesehatan terganggu selain rasanya serba tidak enak, tidak nyaman juga membebani lingkungan sosialnya. Oleh karena itu sering dikatakan "menjaga kesehatan lebih baik daripada mengobati". Â
Jadi supaya tidak sakit perlu memperhatikan pola hidup dan pola makan secara sehat. Makan itu untuk hidup, bukan hidup untuk makan, artinya orang perlu makan agar sehat, bukan hidup itu hanya untuk makan melulu tanpa memperhatikan kebutuhan kalori yang diperlukan.
Makan berlebihan juga tidak sehat karena menyebabkan obesitas dan penyakit lainnya. Idealnya untuk sehat itu perlu memperhatikan asupan gizi seimbang, dan berprinsip :"makanlah ketika lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang". Jadi makan secukupnya saja, tidak terlalu banyak tetapi juga tidak terlalu sedikit. Bila asupan makanan terlalu sedikit dan gizi tidak seimbang juga dapat menganggu kesehatan. Padahal kalau sehat dapat melakukan aktivitas yang bermanfaat untuk dirinya maupun lingkungan sosialnya. Â
Bulan puasa tahun 2020 sangat istimewa, ditengah merebahknya Covid-19, suasananya jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan baru pertama kali ini mengalami situasi darurat, ketidak pastian, dan banyak pembatasan aktivitas dan berinteraksi sosial, demi untuk memutus penularan infeksi Covid-19.Â
Virus yang sangat kecil tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, tetapi sangat cepat menular dan berbahaya. Sejak teridentivikasi Covid-19 pertama kali tanggal 2 Maret 2020, yang berawal di Depok Jawa Barat, dengan cepat menyebar di DKI Jakarta sehingga menjadi daerah epicentrum dan zona merah wabah pandemi Covid-19.
Puasa dalam suasana ketidakpastian akibat pandemi Covid-19, terdampak pada pilihan yang sulit, antara kesehatan dan perekonomian. Pandemi Covid-19 dapat dicegah dan diputus penyebarannya menurut WHO, harus disiplin dan secara bersama-sama. Bukan saja menjadi tanggung jawab bidang kesehatan, tetapi seluruh lapisan masyarakat dibawah komando Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam suasana ketidak pastian ini, ketidak normalan, diluar kebiasaan, seperti saat ini berpotensi menimbulkan penyakit psykis berimbas pada penyakit fisik, yang dapat menganggu ibadah puasa.
Diakui, puasa tahun ini ada banyak kebiasaan yang tidak dilakukan semata-mata agar Covid-19 segera berakhir. Kebiasaan takjil, sholat berjamaah, sholat tarawih, tadarus, i'tikaf, di masjid sementara tidak dilakukan karena kerumunan berpotensi menyebarkan Covid-19.Â
Buka bersama yang biasa marak saat Ramadan , sholat Idul Fitri, acara silaturahmi, pertemuan trah semua ditiadakan. Mobilitas orang dari daerah satu ke daerah lain sebagai tradisi tahunan untuk mudik dilarang. Semua transportasi (udara, darat, laut) diberhentikan sementara. Tempat rekreasi, rumah makan, restoran, mall, tutup sementara karena Covid-19.
Menjalani puasa dengan kondisi ketiakpastian kapan berakhir, menjadi ujian tersendiri bagi yang menjalani. Lulus tidaknya dari ujian ini sangat tergantung dari kecerdasan intelektual, emosional, dan spirutual, secara seimbang. Selain itu daya tahan fisik, psykis, dan mental menjadi kekuatan untuk menangkal kondisi yang berubah-ubah, fluktuatif, bahkan turbulensi.Â