Perlu waktu untu proses, jalan panjang, berliku, penuh ujian, tantangan, pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, biaya (ongkos foto copy, menjilid berkas-berkas sebagai bukti pekerjaan yang telah dilakukan). Â Â Â
Selain itu menguras perasaan dan air mata karena untuk naik jabatan fungsional (pustakawan, arsiparis, dosen, peneliti, dan fungsional lainnya) perlu mengumpulkan angka kredit yang nilainya kecil-kecil, membuat karya tulis, melakukan penelitian, Â mengikuti seminar membayar sendiri sekedar mendapatkan sertifikat.Â
Belum menghadapi tim penilai, atasan langsung, dan bagian SDM yang semua pendekatannya dengan kekuasaan, bukan humanis dan sosial. Bahkan ada yang sengaja menggunakan kekuasaan untuk menghambat laju perjalanan berkas.Â
Caranya berkas ditumpuk, didiamkan bahkan dihilangkan. Padahal untuk menumbuhkan semangat mengumpulkan berkas saja perlu energi tambahan.Â
Belum menghadapi tim penilai yang sering beda "persepsi" dalam menafsirkan suatu aturan. Pengalaman menjadi tim penilai lebih 10 tahun, sering terjadi orang yang akan menilaikan berkas tidak membaca aturannya, apalagi menyusun dengan rapi.Â
Akibatnya tim harus ektra kerja memilah-milah dan menyusun rapi. Bila nilai berkurang, bukannya mencari tahu penyebab dan  solusinya, tetapi membenci tim penilai dan mengumumkan sebagai "algojo nilai". Sadis bukan ?. Air susu dibalas air tuba, menjadi tim penilai memang harus sabar dan tahan guncingan. Â
Anehnya, ketika menilaikan pekerjaannya gantian sesama anggota tim berbeda persepsi, sehingga nilainya berkurang dan berlindung dengan  atasan langsung dan bagian SDM.Â
Kondisi semakin parah karena atasan langsung dan bagian SDM kurang membaca aturan yang sudah ada. Akibatnya pegawai yang menduduki jabatan fungsional yang notabene juga tim penilai mengalami penundaan bahkan gagal menduduki pangkat/jabatan tertinggi.Â
Sudah jatuh tertimpa tangga karena tangga itu sengaja dan sadar dijatuhkan sehingga tidak dapat dipakai sebagai pijakan menuju puncak. Alasan nya faktor "iri hati", rasa tidak suka baik subyektif maupun kolektif  bila melenggang sampai puncak karier. Sungguh aneh bukan?
Model-model menjatuhkan lawan secara terang-terangan atau diam-diam tetap ada dimana-mana. Dianggap "musuh" karena berprestasi di tingkat daerah dan nasional, sehingga dapat membawa nama baik institusinya.Â
Ketika berprestasi, justru kariernya dihambat dan digagalkan agar tidak bisa menduduki jabatan idaman. Padahal untuk berprestasi itupun harus berjuang sendiri, menghadapi cibiran, cacian yang kadang menyakitkan. Bahkan keluar kota pun harus menanggung akomodasi sendiri, tanpa mendapat uang saku sepeserpun. Â