Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Tidak Merelakan Generasi Milenial Berkacamata Sejak Dini, Bagaimana Caranya?

5 April 2019   02:22 Diperbarui: 5 April 2019   11:45 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:https://www.viva.co.id/REUTERS/Dondi Tawatao

Era milenial ini, siapa yang tidak mengenal gawai seperti komputer, smartphone, dan tablet, kecuali di daerah yang benar-benar masih terisolir karena infrastruktur belum dapat menjangkau. Di daerah 3 T (tertinggal, terluar, terdepan), diakui untuk mendapatkan sinyal harus rela keluar biaya lebih banyak.

 Harus naik kendaraan umum ke daerah yang mempunyai fasilitas sekedar untuk dapat berkomunikasi dengan keluarga. Hal ini nyata, bukan rekayasa, yang dialami oleh para prajurit TNI dan Polri, tenaga kesehatan, guru, sarjana yang mengabdi, dan mahasiswa KKN di daerah 3 T tersebut.

Di daerah 3 T anak-anak terbebas dari dampak negatif gawai, walaupun diakui mereka sangat ketinggalan informasi sehat (yang terbebas dari hoaks, rasa kebencian, dan permusuhan). 

Generasi  milenial di daerah 3 T, masih dapat menikmati permainan dan bersosialisasi secara berkelompok, dengan pemandangan alam yang menghijau, udara segar bebas polusi, semuanya masih alamiah. 

Tradisi dan budaya yang melekat sebagai kearifan lokal, masih dilestarikan. Teknologi informasi dan komunikasi belum dapat menjangkau, semata karena kondisi alam berupa ngarai dan perbukitan.

Kembali ke soal generasi melinial, khususnya di daerah perkotaan, urban, dan pinggiran kota sudah berkaca mata minus. Kondisi ini bukan persoalan asupan gizi seimbang, tetapi karena pola,  gaya hidup, dan pola asuh dari orang tua yang cenderung "permisif" memberikan mainan baru yang belum waktunya. 

Bagaimana mungkin sejak masih dalam kandungan ibunya sudah merasakan getaran suara dan mendengarkan cerita dari "youtube", permaianan game, perkacapan yang kasar dan penuh emosi, bukan "murotal" ataupun musik klasik. Jari-jemari ibunya lebih sering memainkan "keybord" gawai ketika mengandung daripada mengelus-elus perutnya saat mendapat tendangan kaki mungil bayinya.   

Pendek kata sejak dini dalam kandungan generasi milenial sudah "terpapar" pengaruh negatif gawai. Bahkan sudah sampai taraf "kecanduan" yang sangat sulit dipisahkan dengan gawai. Padahal sejatinya gawai memberi manfaat besar, mempermudah, mempercepat segala urusan dan transaksi lintas wilayah, negara, dan benua. 

Semua itu karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang masif, sehingga dunia ada dalam genggam tangan setiap orang. Disinilah sebenarnya yang sering disebut teknologi informasi dan komunikasi itu bagaikan "pedang bermata dua", sama tajam di kedua sisi. Sebenarnya teknologi informasi dan komunikasi itu sangat tergantung dari orang yang memakainya. 

Kalau pemakai mengedepankan "hati nurani", kearifan dan kebijaksanaan, tentu memberi manfaat. Sebaliknya, bila pemakai mementingkan "hawa nafsu", emosi, kebencian, dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan orang lain.

Gawai bagi orang tua milenial yang sudah mempunyai anak, sungguh menjadi ujian dan godaan terberat agar anaknya tidak terpapar dampak negatifnya. Sudah sering anak kecanduan yang berakibat pada kesehatan mata, masih kecil sudah berkaca mata karena sering dan terlalu lama melihat layar "kotak ajaib". 

Padahal kalau ditelusur, entah disengaja atau tidak sengaja karena orang tua yang membiasakan anak sejak dini diberi mainan dan yang menjadi teman baru. Anak menjadi diam, tenang, karena tangannya mungil dengan lincah memainkan keybord gawai orang tuanya.

Awalnya orang tua terganggu dengan rengekan, tangisan, anaknya. Agar diam bukannya dialog yang di nomor satukan, tetapi langsung diberi mainan gawai. Akhirnya anak keterusan, dan kecanduan bermain gawai, dan senjata pamungkas dengan "menangis", merengek, merajuk, ngambek, marah. 

Untuk menghentikan orang tua juga kurang mempunyai "wibawa" karena tidak dapat menjadi contoh yang baik, karena juga asyik bermain gawai. Anak-anak dibiarkan bermain sendiri, jadi siapa yang memulai ? Siapa yang harus memberi teladan (role model) untuk anak-anaknya ?.

Saya yakin orang tua yang memulai mengenalkan gawai sejak dini, sekaligus sebagai teladan pertama dan utama bagi anak-anaknya. Wahai orang tua janganlah egois, kalau anaknya dilarang bermain gawai jangan tunjukkan bapak ibu merunduk menatap gawai dengan jari jemari menari di keyboard di depan anak-anak, apapun alasannya. 

Untuk menjawab WA pimpinan, mencari tiket, check in, google map, menjawab relasi, apalagi hanya membaca WA dari group reunian yang isinya bercanda. Anak-anak disekitar kita lebih penting daripada teman WA yang nun jauh disana. Inilah yang dimaksud gawai bisa:"menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh".  

Untuk orang tua yang tidak tegaan, jalan pintas menghentikan tangisan anak dengan memberi gawai. Bahkan ada yang mengatakan "demi kasih sayang" yang menjurus "memanjakan" maka anak sejak dini dibelikan gawai supaya tidak berebut dengan orang tuanya, tanpa ada aturan main yang diberlakukan. Dari sinilah awal petaka itu datang, mulai dari gangguan penglihatan, cepat mengantuk, mata minus. 

Orang tua mana yang rela dan tidak sedih kalau anaknya sejak dini sudah berkaca mata. Artinya untuk meraih cita-citapun sudah terbatas dan terkendala, karena sering ada persyaratan "tidak berkaca mata".

Jujur sebagai orang tua sampai saat ini pun masih mengingatkan anak-anaknya yang masuk generasi milenial ketika berlama-lama melihat gawai. Apalagi dengan cara yang tidak normal misal sambil tiduran, terlalu dekat, di ruangan gelap, saat makan bahkan berkendara. 

Terpaksa "menyita" gawai ketika berkendara adalah hal yang biasa saya lakukan. Menegur atau menghentikan pembicaraan dengan anak-anak yang asyik memegang gawai ketika diajak berbicara tidak menatap mata lawan bicara tetapi "merunduk" di layar gawai. Ini tidak sopan, apalagi orang tua sudah memanggil sampai tiga kali, diabaikan ternyata telinganya dipasangi "earphone".  

Belum kalau kecanduan, mulai menarik diri dari lingkungan sosial, tidak mau sekolah, tidak mau berkumpul dengan teman sebaya dan saudara. Sehari-hari di dalam kamar tertutup rapat, dikunci, bahkan makan minum, mandi, beribadah semua diabaikan. 

Bagaimana untuk mengatasi kalau sudah begini ?. Tentu upaya pendekatan dan terapi secara terpadu psikologis, klinis, agamis kalau sudah tidak mau diajak dialog dengan siapapun. Orang tua khususnya ibu mendoakan agar anaknya kembali menjalani kehidupan "normal".

Yogyakarta, 5 April 2019 Pukul 01.37

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun