Pasar tradisional masih menjadi tempat belanja yang paling menyenangkan untuk membeli kebutuhan pokok seperti sayur mayur, jajan pasar, dan bumbu-bumbu dapur dengan aroma khas. Pasar menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli secara langsung dapat bertatap muka dan berdialog.Â
Pembayaran secara tunai dari dompet pembeli kepada penjual, sungguh mempunyai sensasi tersendiri yang tidak pernah didapatkan di pasar modern karena kasirnya bekerja sesuai SOP.Â
Kasir pasti tidak boleh bercanda apalagi bercerita dengan pembeli karena harus konsentrasi, cepat, tepat menghitung jumlah item barang dan harga yang harus dibayarkan.Â
Sering pembeli tanpa membawa uang tunai, tinggal menggesek dengan kartu ATM atau kartu kredit. Kesannya mentereng bukan ? Seperti para sosialita ketika harus membayar di pusat perbelanjaan bergengsi di ibu kota. Di pasar tradisional mana ada fasilitas gesek, uang tunai menjadi alat pembayaran setiap transaksi. Â
Berbelanja di pasar tradisional, masih ada tawar menawar dan harga persahabatan. Artinya pembeli yang sudah menjadi pelanggan seperti saudara, sehingga penjual melepas dengan harga rendah asal  sudah ada selisih harga (keuntungan) walau sedikit. Inilah yang disebut dengan istilah :"Tuna sathak, bathi sanak" (bhs. Jawa), yang sering diucapkan para penjual di pasar tradisional.Â
Makna istilah adalah: "Lebih baik merugi, asal mendapat saudara". Filosofi versi Jawa dalam menjalin hubungan dengan pelanggan. Bahwa dalam transaksi perdagangan di pasar tradisional bukan hanya proses jual beli. Namun pertemuan pembeli dan penjual dipasar sekaligus bertukar informasi terkini, menjalin silaturahmi sebagai bagian dari ritme kehidupan, dan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan.
Ini adalah cara penjual untuk menjalin relasi dengan pelanggan yang sudah sering membeli dagangannya. Ketika sudah terjalin hubungan penjual dan pembeli secara baik, terjadilah kepercayaan (trust), yang perlu dipegang oleh kedua belah pihak. Konsekwensinya, harga barang tidak lagi menjadi faktor penentu, karena kualitas dan kejujuran penjual lebih diutamakan.Â
Hubungan yang harmonis antara penjual dan pembeli di pasar tradisional inilah yang sering menjadi kerinduan untuk terus datang dan belanja kebutuhan bahan makanan dan bumbunya. Kalau pelanggan lama tidak muncul, ternyata dirindukan dan disambut dengan suka cita. Dagangannya cepat habis, modal kembali, mendapat keuntungan yang memberi manfaat.Â
Barang belanjaan kalau perlu diantarkan sampai ke rumah tanpa dipungut biaya tambahan sepeserpun alias gratis. Seperti sebuah iklan kartu kredit:"Tidak semua hal dapat dibeli dengan uang".Â
Hubungan seperti persaudaraan antara pembeli dan penjual yang sudah terjalin di pasar tradisional tidak dapat diukur dengan sejumlah uang. Tidak memperhitungkan untung rugi, bensin yang dikeluarkan untuk mengantar barang belanjaan, adalah bentuk pelayanan tambahan untuk pelanggan.
Walaupun para pedagang jarang yang mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi, tetapi sudah  langsung mempraktekkan konsep "custumer service''. Menurut Zeithaml (2006), yang mengatakan:"Pelayanan adalah sebuah perbuatan, proses, dan kinerja untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan orang lain sesuai dengan ekspektasinya atau bahkan melebihi ekspektasi orang tersebut".Â
Penyampaian secara excellent/superior/prima, yang melebihi harapan konsumen, sehingga menyebabkan kepuasaan pada orang yang dilayani. Hal demikian ini sudah sering dilakukan di institusi yang "menjual jasa", sehingga pelayanan menjadi fokus untuk memberi kepuasan pelanggan. Kepuasan pelanggan itu dengan memberi nilai tambah dalam bentuk rasa nyaman, senang, ketepatan, dan kecepatan waktu.
Kepuasaan itu abstrak (intangible/tidak berwujud), tetapi dapat dirasakan dan dinikmati. Kedatangan pelanggan dipasar tradisional disambut dengan suka cita para pedagang, sebaliknya ketidak hadirannya sangat ditunggu-tunggu dan dirindukan. Kondisi ini saling menguntungkan, karena pelanggan pasti mendapatkan barang-barang berkualitas, dan penjual dagangannya laris.Â
Walaupun telah terjadi "pergantian" harga (baca kenaikan harga), bukan halangan untuk membelinya. Pastinya pelanggan mengikuti pergantian harga barang di pasar tradisional yang diakui sangat fluktuatif. Bahkan penjualpun bisa merugi, karena stok barang melimpah yang dibeli saat harga naik. Sementara telah terjadi penurunan harga karena ada intervensi pemerintah dengan operasi pasar.
Pasar tradisional memang eksotis, memiliki daya tarik yang khas dengan aneka buah-buahan, sayur mayur yang masih segar dari pemilik kebun. Aneka jajan pasar yang mulai langka seperti "ongol-ongol, gompo, grontol, entok-entok, upih, gatot tiwul, getuk, nasi tumpang, tempe benguk'',  karena tidak  ada generasi yang melanjutkan. Setiap pasar tradisional mempunyai makanan khas di daerah, yang membuat rindu para perantau ketika pulang kampung saat liburan/lebaran. Keramahan penjual di pasar tradisional menjadi daya tarik tersendiri bagi orang asing.Â
Tidak heran bila kesibukan di pasar tradisonal menjadi destinasi wisata baru bagi wisatawan asing, mengingat di negara asal tidak pernah menemukan suasana seperti itu. Inilah salah satu alasan pemerintah mempertahankan pasar tradisional, ditengah gegap gempita era disrupsi 4.0
Yogyakarta, 18 Maret 2019 Pukul 20.47
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H