Perpustakaan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat, kondisi perpustakaan mencerminkan tingkat peradaban dan budaya suatu bangsa. Tinggi rendahnya peradaban dan budaya suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki.Â
Saat ini Indonesia boleh berbangga telah memiliki Perpustakaan Nasional RI yang di klaim sebagai perpustakaan yang tertinggi di dunia, dengan 24 tingkat. Gedung ini berdiri megah dan prestisius terletak di pusat pemerintahan ibu kota RI di Jalan Medan Merdeka Selatan No.11 Jakarta Pusat 10110 dan di Jalan Salemba Raya No. 28 A Jakarta Pusat.
Ketika berkunjung ke Perpustakaan Nasional RI decak kagum, serasa berada di negeri asing, seperti mimpi, antara percaya dan tidak percaya melihat sarana, prasarana, pelayanan berbasis teknologi informasi dan komunikasi cepat, tepat, ramah dan menyenangkan.Â
Perpustakaan yang dulunya senyap walau di pusat pemerintahan telah mengalami perubahan revolusi yang mempunyai daya tarik bagi semua lapisan masyarakat untuk mengunjunginya. Rasa penasaran dan keingintahuan menjadi daya dorong tersendiri pergi ke Perpustakaan Nasional RI yang telah diresmikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 14 September 2017.
Makna perpustakaan sebenarnya bukan sekedar tempat, ruangan, gedung, tetapi isi (koleksi) yang dimiliki, pengelolaan dan pelayanan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.Â
Apalagi di era disrupsi 4.0 perpustakaan perlu melakukan revolusi pelayanan yang berorientasi pada pemustaka (pengguna perpustakaa), supaya tetap berfungsi sebagai sarana simpan karya manusia, informasi, rekreasi, pendidikan dan kultural. Perpustakaan Nasional RI telah melaksanakan kelima fungsi ini, bahkan menjadi "deposit" bagi semua karya intelektual (cetak, rekam dan digital) para pencipta dan produsen.
Namun sayangnya revolusi perpustakaan yang telah terjadi di Perpustakaan Nasional RI, belum secara merata diikuti oleh semua jenis perpustakaan yang ada di Indonesia. Walaupun sudah ada UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan sebagai payung hukum untuk memperbaiki kondisi perpustakaan.
 Realita di lapangan masih banyak tantangan dan hambatan untuk melakukan revolusi di berbagai jenis perpustakaan lainnya (Perpustakaan Umum, Perpustakaan Sekolah/Madrasah, Perpustakaan Perguruan Tingi, dan Perpustakaan Khusus).Â
Tantangan dan hambatan yang paling dominan justru dari lingkungan perpustakaan sendiri yaitu pustakawan, yang harus berinovasi, berkreasi, berpikiran dan bekerja "out of the box", keluar dari kungkungan tradisi bekerja rutinitas dan konvensional.
Kenapa pustakawan menjadi sasaran utama dan pertama yang harus melakukan revolusi diri dalam berpikir dan bertindak ?. Hal ini karena sejatinya yang paling menguasai, memahami, mengerti persoalan kondisi perpustakaan adalah pustakawan, bukan pimpinan dan bukan pemustaka. Kesalahan terbesar adalah pustakawan belum pernah mencoba mengidentifikasi persoalan kondisi perpustakaan secara rinci dan mendetail untuk disampaikan kepada pimpinan.
Jadi bukan karena pimpinan yang tidak memperhatikan perpustakaan, tetapi pustakawan yang tidak pernah memahami kondisi dan persoalan yang dihadapi. Seorang pimpinan yang diurusi dan dipikirkan banyak, mana sempat memperhatikan kondisi dan persoalan perpustakaan kalau tidak mendapat informasi  dan laporan dari pustakawan.
Kalaupun pustakawan sudah melakukan tetapi pimpinan tidak merespon, dicoba lagi dan terus dicoba, serta instrospeksi dimana ada yang kurang berkenan dihati pimpinan. Apabila pustakawan dapat berargumen secara logis sesuai ketentuan kepustakawanan, disampaikan pada saat dan suasana yang tepat, bahasa komunikasi dan sikap yang menghargai, menghormati pimpinan, yakinlah proposal pasti disetujui.Â
Pernahkan hal ini dicoba dan dipraktekkan oleh para pustakawan yang menjadi motor penggerak perpustakaan ? Kalau pun sudah pernah dilakukan dan tetap pimpinan belum merespon, teruslah melakukan pelayanan yang terbaik secara tulus ikhlas untuk pemustaka. Suara pemustaka yang positif karena mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari perpustakaan dan pelayanan menyenangkan pustakawan dapat sebagai penyambung lidah ke pimpinan. Â
Apapun yang telah dilakukan hendaknya dilaporkan kepada pimpinan walaupun tidak diminta, baik capaian, persoalan, usulan pemecahan masalah, rencana, target secara tertulis, terdokumentasi yang rapi dan kronologis.Â
Pimpinan yang baik pasti merespon laporan dari bawahannya, sehingga ada komunikasi timbal balik. Ketika sudah terbuka komunikasi dengan pimpinan, tetap menjaga etika dan sopan santun, walaupun usia pimpinan lebih muda. Dari sinilah pimpinan mulai memberi kepercayaan kepada pustakawan untuk melakukan apa yang seharusnya untuk membuat perpustakaan ideal sesuai dengan perkembangan dan tuntutan pemustaka.
Perpustakaan mau dibawa kemana diserahkan kepada ahlinya, yaitu pustakawan dan pimpinan yang membuat kebijakan berkaitan dengan pembiayaan yang diperlukan untuk perpustakaan.Â
Ketika pimpinan sudah memberikan amanah dan kepercayaan sepenuhnya, jalankan dengan penuh rasa tanggung ja wab. Jangan coba-coba untuk menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan pimpinan, apalagi untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroninya. Sungguh ini dapat merusak kepercayaan yang telah diberikan.
Yogyakarta, 17 Maret 2019 Pukul 01.52 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H