Sampai hari ini saya masih senang belanja di pasar tradisional selain bersih, tidak becek walau habis diguyur hujan. Hal yang menyenangkan, penjualnya ramah, dan pastinya harga bersaing dengan pasar modern atau digital.Â
Pasar tradisional yang dekat rumah adalah Pasar Kotagede untuk belanja sayuran, buah pisang, bumbu dapur, sesekali daging kambing, tahu, telur asin, dan jajan pasar khas (getuk ketela rambat, singkong). Sementara kalau di Pasar Gedongkuning biasanya membeli ikan laut, sayuran, tempe, jamur, dan ayam kampung. Kedua pasar itu sudah ada langganan yang menyediakan barang-barang sesuai kebutuhan. Tidak perlu menawar karena sudah terbiasa, dan percaya dengan pedagang yang tidak akan mungkin mengambil keuntungan di luar kewajaran.
Sebenarnya di pasar tradisional pun banyak barang yang bagus, segar, seperti di supermarket. Selain harga yang lebih murah, di pasar tradisional yang mengesankan adalah jalinan komunikasi langsung antara pedagang dan pembeli. Sambil memilih barang, di pasar tradisional kita dapat mendengarkan dialog antar pedagang maupun pembeli. Semua ini tentu tidak didapatkan di pasar modern, karena pelayan bekerja sesuai standar SOP sehingga tidak boleh mengobrol berlebihan dengan pembeli. Kalau pelayan di pasar modern mengobrol dengan pembeli terlalu lama pasti mendapat teguran supervisor.
Selain ada dialog langsung antara pedagang dan pembeli, yang pasti dapat mendengarkan cerita langsung terkait "akar rumput" para pelaku roda perekonomian.Â
Ketika harga bawang merah, lombok keriting, telur, minyak, terigu, naik atau ganti harga, dampaknya langsung dirasakan oleh para ibu-ibu yang suka belanja di pasar tradisional. Hal seperti itu dapat dilihat dengan nilai uang yang sama barang, jumlah dan macam belanjaan yang didapat berkurang.Â
Oleh karena itu, naiknya harga bahan pokok sering mendapat perhatian dari pemerintah. Hal itu, selain untuk mengurangi sepak terjang para tengkulak, juga meringankan rakyat yang berpenghasilan rendah, agar mempunyai daya beli untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
Di pasar tradisional juga sering mendengar cerita kenapa ada pedagang tiba-tiba tidak membuka lapaknya, padahal sudah mulai berkembang barang dagangannya. Bahkan tempat jualannya digantikan orang lain, dengan barang dagangan berbeda atau tetap sama.Â
Usut punya usut ternyata pedagang tersebut terjermus dalam kubangan "arisan/investasi bodong" dan/atau terjebak dalam pusaran pinjaman lintah darat  yang menghisap penghasilan para pedagang dengan memberi iming-iming kredit uang secara lunak tanpa jaminan/agunan. Selain itu juga ada pedagang yang pola hidupnya konsumtif, mudah terpengaruh oleh bujuk rayu manis dibibir oleh para rentenir, yang menawarkan jasanya secara masif ditengah pasar.Â
Sebenarnya kalau melihat persoalan "akar rumput" itu, di pasar tradisional tempat bertemunya antara pedagang dan pembeli secara langsung. Bahkan barang dagangan itu berasal dari kebun atau sawah sendiri yang ditanami aneka bumbu dapur, bahan makanan dan sayuran.Â
Wajar saja kalau di musim kampanye menjelang pilpres dan pileg tanggal 17 April 2019, pasar tradisional menjadi tujuan para kandidat capres/cawapres, caleg untuk memperkenalkan diri. Hal yang dinanti para pedagang pasar tradisional, bukan hanya memborong barang dagangannya (bagi yang mendapat rejeki nomplok), tetapi mendengarkan jeritan hatinya yang masuk dalam pusaran lintah darat.
Gerakan lintah darat atau bank plecit tidak kentara langsung mendatangi pedagang yang kesulitan modal, diiming-imingi pinjaman cepat cair tanpa jaminan. Hal ini tentu lebih menarik bagi orang yang sangat membutuhkan uang dibandingkan hutang di bank yang perlu jaminan dan prosedur lama.Â