Yogyakarta sebagai kota wisata tidak dapat dilepaskan dari aneka kuliner untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum bagi para wisatawan. Walaupun di hotel maupun penginapan sudah tersedia menu makan pagi, seperti nasi goreng, roti bakar, aneka jenang, bubur ayam, salad, buah-buahan iris, jus jeruk, air infus, teh, kopi, susu. Untuk makan siang dan malam tidak ada salahnya merasakan kuliner makanan yang dijajakan di luar hotel.Â
Selain aneka kuliner yang dijajakan di cafe, resto, dan warung makan, ada pula makanan yang dijajakan di pinggir jalan dengan duduk di kursi atau lesehan di atas trotoar. Warung makan pinggir jalan diakui di satu sisi membawa berkah, dan memudahkan orang mencari kuliner, namun di sisi lain menimbulkan masalah. Â Â
Secara legal formal memang berjualan di pinggir (baca trotoar) jalan dilarang karena trotoar merupakan fasilitas untuk pejalan kaki. Apalagi berjualan makanan yang memasak di tempat dapat berpotensi menimbulkan kotoran, jelaga di pagar/tembok, tumpahan minyak goreng hingga banyaknya limbah sisa-sisa makanan (kecuali sudah ditempatkan dalam plastik khusus).Â
Dari segi kesehatan, makanan yang dijajakan di pinggir jalan sudah terpolusi udah kotor, apalagi air yang digunakan untuk mencuci piring tidak mengalir sehingga kotoran dapat kembali menempel, dan serbet untuk mengeringkan peralatan makan pun belum tentu bersih. Belum lagi kalau dikaitkan dengan lingkungan, tenda-tenda yang ditutup dengan kain itu dapat mengganggu pemandangan dan kendaraan yang parkir di tepi jalan pun dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas.
Padahal pemerintah telah berusaha untuk merelokasi para pedagang di pinggir jalan untuk dipindah di satu tempat. Namun sayangnya, banyak pedagang yang mengeluh, karena mereka berpikir tempatnya yang tidak strategis dan sepi pengunjung.Â
Tempat yang sudah disterilkan pun sudah dipasang tulisan "Dilarang berjualan di sepanjang trotoar", namun tidak dihiraukan oleh mereka dan mereka tetap berjualan. Mereka berdalih sudah dipungut retribusi, "membeli" lahan untuk berjualan serta membayar "keamanan" untuk yang membawahi wilayah tersebut.Â
Bak simalakama, memilih dua hal yang berat antara "rasa kemanusiaan dan kebersihan lingkungan". Kalaupun sudah berhasil direlokasi ternyata muncul penjual baru. Tentu, Di situlah peran pemerintah untuk mensosialisasikan, mengawal dan menegakkan peraturan daerah tentang larangan berjualan di pinggir jalan, memberi solusi secara adil dan bijaksana.
Baca juga: Pedagang Kaki Lima dari Singapura Menjadi Warisan Budaya UNESCO, Apa yang Spesial?
Berjualan di pinggir jalan dalam jangaka waktu yang lama tentunya sudah dilarang. Hal itu berdasarkan Peraturan Daerah (Perda). Namun nyatanya masih banyak pedagang yang tidak kehilangan akal, dipakailah kendaraan roda dua atau empat untuk menempatkan dagangannya agar mudah dipindah petugas penertiban.Â
Semua persoalan tersebut tidak pernah terpikirkan oleh para penikmat kuliner dipinggir jalan. Apalagi mereka yang terbiasa dengan kehidupan monoton, menjalani pekerjaan rutinitas, mempunyai mobilitas tinggi dan mengalami kemacetan di jalan raya setiap hari. Pastinya perlu refreshing, menikmati suasana berbeda kuliner di pinggir jalan duduk lesehan di atas trotoar.