Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Rezeki Itu Tidak hanya Berupa Uang?

31 Januari 2019   00:53 Diperbarui: 3 Juli 2020   18:22 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:http://www.ikhtisarislami.com

Setiap orang berusaha dan berjuang untuk menjemput rezeki agar dapat memenuhi kebutuhan dan memberi manfaat untuk dirinya, keluarga, kerabat, dan lingkungan sosial. 

Tidak ada rezeki yang turun dari langit, tetapi harus diupayakan dengan cara-cara yang halal dan benar. Bukan asal comot dan serobot yang bukan haknya. 

Semua sudah ada porsinya yang tidak mungkin tertukar/salah. Kalau sudah rezekinya pasti akan sampai ditangan kita. 

Sebaliknya bila belum rezeki kita, dikejar sampai ujung duniapun akan terlepas, seperti "fatamorgana", semakin dikejar semakin menjauh.

Dalam hukum agama yang saya anut ada kewajiban menyisihkan sebagian rezeki minimal 2,5 persen yang menjadi hak orang lain (kaum dhuafa). Tidak heran kalau pada bulan suci Ramadan saat yang tepat untuk menghitung zakat maal yang harus dibayarkan kepada yang berhak. 

Lebih diutamakan untuk keluarga terdekat bila masih ada yang membutuhkan, untuk mensucikan rezeki yang dimilik agar halal dan barokah. 

Secara fakta dan matematis rezeki yang diberikan berkurang, namun sangat diyakini sejatinya akan mendapat ganti yang tidak terduga-duga, bertambah berlipat ganda, bukan  hanya berujud uang.

Selama ini orang selalu beranggapan bahwa rezeki itu berupa nilai rupiah alias uang yang bisa dijumlah nominalnya. Semakin banyak nilai nominal rupiahnya yang diperoleh berarti semakin sukses hidupnya. Anggapan ini sah-sah saja, namun untuk mendapatkan rezeki banyak dan barokah perlu proses panjang, kerja keras dan kerja cerdas. 

Ibaratnya orang lain sudah terlelap di peraduan, ia masih berjuang, berpikir, berinovasi, bekerja untuk menghasilkan karya nyata yang dapat memberi manfaat bagi banyak orang. Jadi tidak ada dalilnya seorang "pemalas" tanpa kerja keras dan cerdas mendapatkan rezeki banyak seperti "durian runtuh", kecuali melakukan tindakan tercela dan ternoda.

Benar bahwa uang hanya salah satu rezeki yang dimiliki oleh setiap orang. Masih banyak rezeki yang kita miliki tetapi tidak pernah dirasakan karena tidak berwujud lembaran kertas yang mempunyai nilai. 

Akibatnya orang sangat senang mendapatkan uang banyak, saking kepinginnya jalan pintaspun ditempuh. Tanpa pernah berpikir panjang dan resiko yang akan dihadapi berupa sanksi hukum dan  non hukum (sosial, agama, adat setempat). Padahal sebelum sanksi hukum dijatuhkan, sudah menerima sanksi sosial, dikucilkan, didiamkan, "dibully".

Mereka beranggapan bahwa uang adalah segalanya, karena dengan uang segalanya dapat diraih. Selalu "merasa" haus dan kekurangan uang yang sudah menjadi haknya, sehingga menganggu, menunda, mengambil hak orang lain. 

Rasa haus rezeki uang ini bagaikan minum air laut, semakin banyak minum semakin kehauasan. Dari sinilah muncul sifat serakah, tidak  mensyukuri nikmatNya. Selalu melihat orang lain yang mempunyai uang lebih banyak, tanpa memperhatikan kemampuannya, "seperti pungguk merindukan bulan".

Namun bagi mereka yang beranggapan rezeki tidak harus berupa uang, selalu mensyukuri nikmatNya. Baginya kondisi sehat adalah suatu karuniaNya yang tidak dapat dinilai dengan uang berapapun. Bayangkan bila sakit dirawat di Rumah Sakit berapa biaya yang harus dikeluarkan, walau ada jaminan kesehatan ?. Oksigen, ketika sehat dapat dihirup dengan gratis, namun ketika sakit harus berbayar.

Selain itu hubungan pertemanan yang terjalin dengan baik adalah rezeki yang patut disyukuri. Niat  silaturahmi  dengan teman sekolah, kuliah ternyata dapat mendatangkan rezeki yang tidak pernah disangka. 

Sambutan yang ramah, tulus ikhlas, perhatian, pengorbanan (waktu, tenaga, materi) dari teman yang kita kunjungi adalah rezeki yang tidak terhingga. Percayalah kalau kita niatnya baik dengan teman seperguruan (bukan untuk memanfaatkan kedudukan dan jabatannya), pasti jalinan silaturahmi semakin menambah kedekatan persahabatan.

Lingkungan sosial yang baik dimana kita tinggal atau bekerja adalah rezeki juga yang mendatangkan rasa aman, nyaman, rasa kekeluargaan, kegotongroyongan, saling memahami, menghargai, rukun dan penuh kedamaian. 

Dapat dibayangkan bila lingkungan sosial kita egois, menang-menangan, tidak toleran, membuat tidak tenang dan tidak nyaman. Dimanapun berada orang sombong, angkuh itu pasti dibenci dan orang lain menjadi tidak simpati. 

Oleh karenanya saat ini ada kecenderungan "lingkungan sosial" menjadi salah satu pertimbangan menentukan dalam pembelian rumah tinggal.   

Terwujudnya rezeki selain berupa uang itu sangat tergantung pada sikap, perilaku, tindakan, ucapan yang kita lakukan. 

Menanam bibit kebaikan tidak ada ruginya karena diyakini akan tumbuh kebaikan, kalau bukan kita yang merasakan, anak cucu kita yang memetiknya. Sebaliknya menyebar kedzoliman, permusuhan, seperti menggali lubang celaka untuk dirinya dan keturunannya. Sungguh menyedihkan bukan ?.

Yogyakarta, 31 Januari 2019 Pukul 00.25

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun