Terbongkarnya kasus prostitusi online di hotel kota Surabaya yang melibatkan artis dengan tarif Rp 80 juta oleh pihak berwajib, menjadi berita yang menarik dengan berbagai tanggapan sesuai dengan persepsinya. Bahkan di media sosial muncul "meme" tentang 80 juta, menjadi viral menyudutkan nama artis. Apapun latar belakangnya melakukan tindakan prostitusi itu dilarang oleh hukum agama dan negara. Masyarakat juga mencibir, menyudutkan, membuang warganya yang menjalani kehidupan sebagai "kupu-kupu malam". Bahkan memberi cap "sampah masyarakat", yang mencemarkan nama keluarga dan lingkungan sosialnya.
Pemerintah pun menutup tempat-tempat lokalisasi, dirubah menjadi terminal, taman rekreasi, taman bermain, fasilitas publik, yang tertata, rapi, indah dan terang. Kemana mereka pindah tempat yang kehilangan penghasilannya, baik sebagai tukang parkir, warung remang-remang, "mucikari" dan wanita-wanita yang "terpaksa" menjual diri karena kebutuhan ekonomi yang bukan sekedar memuaskan nafsu para "hidung belang"?. Kenapa yang menjadi korban selalu pihak perempuan yang  tergoda bayaran tinggi walaupun "harga diri"nya sudah terbeli ?.
Dalam tulisan ini bukan berarti menyetujui ada prostitusi, bagaimanapun prostitusi sangat merugikan kesehatan (fisik dan psikis), ekonomi, ketahanan keluarga, masa depan anak-anak.
Tekanan utama dalam tulisan ini mempersoalkan pemberitaan media massa yang berlaku tidak adil dan kurang obyektif terhadap perempuan sebagai pelaku sekaligus korban prostitusi.
Banyak perempuan yang terjebak masuk "lembah hitam", karena tergoda iming-iming duniawi yang gemerlap bagaikan fata morgana. Perempuan muda yang dijanjikan pekerjaan enak gaji besar, dapat hidup enak, mewah.
Mereka tidak sengaja menjadi korban dan masuk dalam dunia prostitusi karena ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Diakui memang ada yang sengaja "menjeburkan diri" dalam dunia gelap dengan segala resiko dan konsekwensinya.
Pemberiataan media massa sudah menghakimi pihak perempuan sebagai pihak yang bersalah dalam prostitusi. Padahal dalam hukum ada asas:"praduga tidak bersalah" yang berarti seseorang itu dianggap tidak bersalah sampai hakim memutuskan bersalah di sidang pengadilan.
Jadi seseorang itu sepanjang belum ada putusan dari hakim di persidangan belum dianggap bersalah, walaupun sudah melakukan tindak pidana.
Artinya harus ada proses persidangan, hakim memberi keputusan yang mempunyai kekuatan, baru seseorang itu dinyatakan bersalah.
Namun yang terjadi, belum ada keputusan hakim sudah ada "penghakiman" untuk perempuan yang "patut" disangka sebagai pelaku prostitusi. Disini perempuan menjadi obyek dalam pemberitaan, apalagi identitasnya tidak disamarkan tetapi langsung ditulis nama secara jelas dan wajahnya tidak di "blur" ketika disorot kamera.
Apakah ini makna keterbukaan informasi ?. Dalam UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik khususnya pasal 17 huruf a angka 2, yang menyatakan:"informasi yang dikecualikan yaitu mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana".
Artinya artis itu masih dinyatakan sebagai saksi, semestinya tetap harus mendapat perlindungan secara hukum. Hal ini juga ada aturan hukumnya yaitu UU No.13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), yang sudah dirubah dengan UU No.31Tahun 2014.
Masalahnya dalam kasus prostitusi ini statusnya sebagai saksi, sehingga hanya diwajibkan lapor seminggu 2 (dua) kali. Hal ini tidak menutup kemungkinan status saksi dapat ditingkatkan menjadi tersangka sekaligus sebagai korban.
Dalam hal ini saksi sekaligus sebagai korban, karena pemberitaan di media sosial yang begitu masif, "seakan" sudah mendapat sanksi secara sosial dari masyarakat.
Apalagi beredarnya "meme' di media sosial yang mencemooh dan gurauan yang ditujukan kepada artis tersebut. Walaupun polisi juga telah menangkap laki-laki penyewanya, namun identitasnya nyaris tidak beredar di ranah publik dibandingkan dengan artisnya sendiri. Padahal artis tersebut juga mempunyai orang tua, keluarga, lingkungan sosial.
Dapat dibayangkan berita yang selalu menyudutkan ini menjadi tamparan bagi orang tua dan keluarga besarnya. Apapun alasannya tidak pernah ada orang tua yang mengharapkan anaknya masuk dalam "kubangan hitam".
Sangat sependapat dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam siaran persnya tanggal 7 Januari 2019 mengenai kasus prostitusi online, penyebutan nama korban sangat mengekploitasi pihak perempuan. Pernyataan sikap yang dikeluarkan Komnas Perempuan sebagai keprihatinan sebagaian masyarakat yang peduli nasib perempuan dan keluarganya. Eksploitasi pemberitaan media massa ini harus segera dihentikan, agar masyarakat tidak menghakimi dengan opininya. Biarlah para penegak hukum yang menuntaskan kasus ini, untuk memutuskan yang seadil-adilnya.
 Yogyakarta, 12 Januari 2019 Pukul 23.14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H