Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudah "Mati Rasa", Melakukan Korupsi Bantuan Bencana

6 Januari 2019   16:29 Diperbarui: 6 Januari 2019   18:33 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia sebagai daerah rawan bencana baik karena faktor alam maupun ulah manusia. Faktor alam, mengingat posisi Indonesia berada di sesar aktif berpotensi gempa dan tsunami yang menimbulkan korban jiwa meninggal, cidera dan mengungsi. Sesar Indo -- Australia, kebawah Eurasia, Lembang, Opak, Polo dan lain-lain, sewaktu-waktu sebagai dapat menimbulkan gempa baik berpotensi tsunami ataupun tidak berpotensi. 

Erupsi gunung berapi yang masih aktif juga menjadi penyebab bencana. Fenomena terbaru, musibah karena likuifaksi tanah seperti terjadi di Palu, Donggala dan Sigi. Tanah padat tiba-tiba menjadi cair karena gempa, sehingga bergerak, berpindah, dan terbalik seperti diaduk-aduk. Terakhir tsunami yang datang mendadak tanpa peringatan dini, telah memporakporandakan daerah pesisir Selat Sunda.

Bencana disebabkan ulah manusia, menebang pohon tanpa menanami lagi, sehingga hutan menjadi gundul. Air hujan tidak dapat tersimpan oleh akar pepohonan, akibatnya terjadi tanah longsor, dan di musim kemarau terjadi bencana kekeringan, langka air. 

Ulah manusia juga, membuang sampah sembarangan di got, saluran air, sungai tanpa disadari menyumbat aliran air, menyebabkan air menggenang di tempat yang lebih rendah, bahkan banjir bandang. Selain itu bencana kebakaran hutan dan pemukiman di daerah padat penduduk, akibat instalasi listrik yang tidak standar, menjadi penyebab arus pendek.

Setiap terjadi bencana selalu menimbulkan korban jiwa meninggal, luka berat/ringan, kehilangan tempat tinggal dan harta benda. Mereka para "penyintas", dari kata sintas dalam KBBI berarti terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya. Jadi para penyintas adalah orang yang selamat dari suatu bencana. 

Dalam kondisi darurat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya (pangan, sandang, papan), sehingga memerlukan uluran tangan orang lain. Di tempat pengungsian, pastinya tidak nyaman, harus berbagai tempat untuk makan, tidur, dan memanfaatkan bersama air bersih, toilet. Wajah-wajah pasrah, sedih, pedih, kehilangan anggota keluarga, harta benda, dan harapan selalu menjadi pemandangan di pengungsian.

Ketika menjadi penyintas dan di tempat pengungsian tidak ada sekat agama, usia, jenis kelamin, status sosial, pangkat, derajad, dan pilihan politik, semuanya berbaur di titik-titik yang sudah ditentukan agar mudah mendapatkan bantuan secepatnya. Merasa senasib sepenanggungan, tidak mempunyai harta benda yang tersisa kecuali apa yang dipakai dan dibawa. 

Pertama yang dibutuhkan sesaat setelah bencana adalah makanan siap saji, karena kebutuhan perut tidak bisa ditunda, apalagi untuk anak-anak kecil. Bantuan biasanya terlambat datang karena terkendala jalan, jaringan komunikasi terputus, walaupun apa yang dibutuhkan sudah terkumpul dari para donatur yang cepat tanggap dan mempunyai empati untuk segera meringankan penderitaan.

Namun berita menyentak dan memprihatinkan karena KPK berhasil melakukan Operasi tangkap tangan (OTT) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) atas proyek sistem penyediaan air minum di wilayah Palu-Donggala Sulawesi Tengah. Sungguh, siapapun yang menyelewengkan dana proyek di daerah bencana, sepertinya sudah "mati rasa", tidak mempunyai empati, simpati, belas kasihan, apalagi perasaan. Hati nuraninya sudah tidak bisa merasakan  penderitaan para pengungsi. 

Orang demikian bagaikan "monster", mayat hidup yang raga dan jiwanya masih utuh, tetapi "rasa" sudah melayang entah kemana. Akibatnya tanpa merasa berdosa melakukan korupsi disaat terjadi bencana. 

Saat tidak ada bencana pun korupsi dilarang, apalagi saat bencana. Bantuan bencana dikorupsi oleh orang-orang yang mendapat amanah. Dimanakah hatinuraninya dan kepekaan rasa empati, simpati ?.

Tega-teganya melakukan korupsi untuk bantuan bencana yang sangat dibutuhkan para pengungsi. Disinyalir hal serupa terjadi di tengah bencana lainnya, yang menurut Kompas (03/12/208):"menunjukkan sejak tahun 2002 dana penanggulangan dan bantuan bagi korban bencana di sejumlah daerah dikorupsi oleh sejumlah pejabat dari beberapa daerah seperti di Papua, Jateng, Jabar, Smumut, Sulut, Aceh, dan Riau". 

Salut dan selamat untuk KPK yang telah bekerja keras untuk membongkar OTT dana bencana. Kalaupun para pejabat tidak kena OTT, dan terbebas dari persidangan di dunia, namun tidak dapat mengelak menghadapi sidang pengadilan "nanti" di alam akherat. Harus  mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan menghadapi pengadilan dimana para penegak hukumnya tidak dapat disuap dengan apapun. Masih beranikah para pejabat melakukan korupsi dana bantuan bencana ?. 

Ingatlah doa orang-orang yang terdholimi (penyintas) bencana dapat di dengar langsung sampai langit ke tujuh. Dan ingatlah hasil korupsi itu sebagai rejeki yang tidak halal dan tidak barokah. Mengapa tega memberi anak-istri dan keluarganya dari rejeki yang tidak halal ? Padahal dari rejeki yang tidak halal dan tidak barokah itu akan mengalir melalui darah di tubuh istri dan anak-anaknya.

Sangat mendukung operasi OTT KPK, dan memborgol para koruptor ketika sudah menjadi tersangka dengan baju oranyenya, sehingga para koruptor tidak bisa melambaikan tangan dengan tersenyum ketika disorot kamera. 

Semoga para koruptor dibalik sel hotel prodeo menyadari tindakannya yang salah, dan ketika keluar membuka lembaran baru yang memberi manfaat untuk kepentingan orang banyak.

Yogyakarta, 6 Januari 2019 Pukul 16.00

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun