Yogyakarta ternyata tidak hanya mendapat sebutan sebagai kota budaya, sejarah, pariwisata, pendidikan, perjuangan, bekas ibukota RI, tetapi juga sebagai kota museum. Betapa tidak di Yogyakarta ini ada 44 museum dari 435 museum di Indonesia (Statistik Kebudayaan, 2017).Â
Artinya jumlah museum 10,11 persen berada di Yogyakarta. Kondisi ini semakin memperteguh  Yogyakarta sebagai kota sejarah dan pariwisata serta pendidikan, mengingat fungsi museum sebagai  wahana rekreasi, menambah pengetahuan, dan informasi sejarah perjuangan.
Di Yogyakarta dari 44 museum itu yang paling sering mendapat kunjungan anak-anak sekolah adalah Museum Dirgantara, Museum Biologi, Museum Sonobudaya, Museum Monumen Yogya Kembali. Ullen Senlalu biasanya untuk orang asing dan keluarga, tiketnya termasuk mahal (Rp 40.000,-) dibanding museum pemerintah, mengingat yang mengelola swasta pengunjung dilarang memotret.Â
Namun diakui konsepnya bagus tentang dinasti Kerajaan Mataram yang penuh aura mistis. Ketika kunjungan berakhir mendapat suguhan minuman beras kencur satu gelas kecil. Terbayar harga tiket dengan pemandu yang ramah, jelas, dan setiap kali keluar ruangan selalu berkata:"yang terakhir menutup pintunya ya". Memang tiap ruangan ada pintu masuk dan keluar yang selalu tertutup.
Museum yang lain tetap sepi pengunjung karena persoalan klasik pemasaran, manajemen, dan preservasi. Selain itu masih ada masalah, kebiasaan orang Indonesia belum sampai taraf mengagendakan berkunjung ke museum sebagai kebutuhan.Â
Padahal harga tiket masuk seharga Rp 3.000,- bahkan gratis, itupun tidak membuat tertarik masyarakat. Bandingkan dengan di luar negeri tiket masuk bisa sampai Rp 2,8 juta dan antrinya panjang, karena museum dikemas sedemikian rupa, sehingga tempat untuk kursus memasak, .Â
Di Indonesia berkunjung ke museum ketika PAUD, TK oleh ibu guru diajak berkunjung ke museum diantar orang tua masing-masing. Setelah SD, SMP, SMA, mahasiswa sudah tidak ada lagi agenda study tour yang salah satunya obyeknya berkunjung ke museum. Paling ke obyek wisata pantai, alam, budaya (menikmati tari-tarian), belanja oleh-oleh makanan dan souvenir.
Museum tetap sepi pengunjung di tengah gemerlap dan keramaian kota Yogyakarta. Bahkan ketika mendengar istilah "museum" pun yang terbesit dalam pikirannya sepi, sunyi, gelap, benda-benda kuno, bahkan aura mistis.Â
Padahal sejatinya koleksi museum itu mengandung nilai-nilai perjuangan, strategi perang, kekompakan pejuang dan rakyat, pengorbanan harta dan nyawa, rasa kekeluargaan, kegotong royongan, kesatuan dan persatuan , semangat patriot, heroik melawan penjajah Belanda dan Jepang yang menyengsarakan rakyat.
Salah satu museum yang berkaitan dengan perjuangan adalah Museum Sandi, satu-satunya yang ada di indonesia, bahkan dunia. Museum ini berdiri tanggal 29 Juli 2008, dengan tujuan mengenal maalah "persandian", media pembelajaran generasi milenial.Â
Sandi sangat penting ketika masa perjuangan, dengan kurir untuk menyampaikan pesan kepada teman seperjuangan yang berada di lain tempat. Sejarah kegiatan persandian, sejarah perkembangan ilmu persandian mulai Kriptografi klasik dan modern, evaluasi peralatan sandi buatan Indonesia dan luar negeri yang pernah digunakan dalam persandian.
Koleksi Museum Sandi yang terletak di Jalan Faridan M.Noto No.21 Kotabaru Yogyakarta ini terdiri koleksi mesin dan peralatan sandi (asli dan replika), sepeda ontel untuk transportasi kurir mengantar surat yang berisi kode-kode, meja dan kursi asli sebagai sarana kerja persandian dari Pedukuhan Dukuh, Kulon Progo, replika rumah sandi, dokumen buku kode, sandi huruf Morse Internasional, mesin-mesin sandi, telepon jaman dulu. Museum Sandi ini hanya ada di Indonesia dan di Amerika Serikat.
Strategi untuk menarik pengunjung ke museum termasuk museum sandi, maka mengajak generasi milenial yang memiliki bakat, minat, dan kepeduliannya terhadap museum, dengan kompetisi pemilihan Duta Museum setiap tahun.Â
Syarat melampirkan curriculum vitae disertai email dan nomor handphone, berpenampilan menarik, tinggi badan bagi laki-laki 165 cm dan perempuan 160 cm. Usia minimal 17 tahun dan maksimal 24 tahun.Â
Belum menikah. Ijazah SMA/sederajat atau ke atas. Tugasnya mem"branding" museum menjadi tempat yang menarik untuk dikunjungi generasi milenial dan memasarkan dengan memanfaatkan sosial media (facebook, twitter, line, intagram). Generasi muda tentu sangat familiar dengan sosial media, youtube, lebih interaktif dan memasarkan museum ke lintas negara dan benua.
Acara:"Seminar Share Your Moment at the Museum on Sosial Media", yang diselenggarakan Museum Sandi dan dinas Kebudayaan DIY dengan Duta Museum DIY, tanggal 30 Nopember 2018 di Museum Sandi Yogyakarta", dibahas tuntas tentang mem"branding" museum.Â
Mas Andra yang terpilih sebagai Duta Museum 2017 dengan mengikuti event internasional sudah berkeliling 14 negara dan 31 destinasi secara gratis, padahal awalnya hanya kepingin pergi naik pesawat. Demikian kata mas Andra lulusan S1 Ilmu Komputer UGM dan sedang melanjutkan pendidikan S2. Tertarik ?. Mulailah dari sekarang mempunyai minat berkunjung ke museum, foto sesuai konsep yang diinginkan, diberi penjelasan dengan bahasa asing lebih mendunia dan pasang di Instagram anda.
Yogyakarta, 1 Desember 2018 Pukul 21.54
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H