Tinggal di Apartemen, Kebutuhan atau Tren?

Setiap orang mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk mempertahankan hidup secara fisik, psikis, dan sosial. Teori Abraham Maslow yang terkenal sering disebut hierakhi kebutuhan (hierarchy of needs) selalu menjadi landasan berpikir ketika menyebut "kebutuhan". 

Menurut Maslow, tingkatan kebutuhan itu mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Antara kebutuhan dasar dan aktualisasi diri ada kebutuhan rasa aman dan tenteram, kebutuhan untuk dicintai dan disayangi, serta kebutuhan untuk dihargai.

Kebutuhan yang paling dasar (fisiologis), paling kuat dan paling jelas adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup secara fisik, yaitu makan, minum (pangan), tempat berteduh (papan), seks, tidur, dan oksigen. Untuk menambah estetika setiap orang perlu memakai baju (sandang) yang menempel ditubuhnya. 

Kebutuhan pangan, papan, sandang menjadi kebutuhan dasar (primer) yang pemenuhannya tidak dapat ditunda, artinya harus disediakan dan diusahakan. Kebutuhan dasar ini bila tidak dipenuhi, dapat mengganggu kondisi fisik menjadi kurang sehat karena asupan gizi seimbang tidak ada. Akibatnya dapat sakit yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari.

Kebutuhan dasar ini dalam perkembangannya mengalami perubahan, sesuai dengan peradaban manusia, bukan hanya pangan, papan dan sandang, tetapi kesehatan dan pendidikan. Selain itu masih ada kebutuhan hakiki yaitu spriritual. Oleh karena itu wajar setiap orang berusaha untuk memenuhi dan menyeimbangkan kebutuhan fisik, psikis, dan spiritualnya. 

Artinya asupan gizi seimbang itu perlu, tetapi asupan gizi untuk rohani sesuai dengan keyakinan spiritual juga dibutuhkan. Selain itu kebutuhan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosial, karena setiap orang itu sebagai makhluk sosial, sekaligus individu (pribadi). 

Dalam kehidupan bermasyarakat tidak ada orang hidup sendiri, tanpa memerlukan bantuan orang lain. Sekalipun orang tajir dan sehebat apapun kekuasaan dan kewenangannya, pasti ada orang-orang di sekelilingnya berkeinginan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Pemenuhan kebutuhan dasar khususnya papan menjadi penting karena sebagai tempat untuk berlindung dari hujan, panas, mendapatkan rasa aman, nyaman, kehangatan, melepaskan kepenatan. 

Bahkan papan menjadi tempat berlabuh setelah bepergian seharian menjalankan kemusafirannya di dunia. Oleh karenanya kebutuhan papan (baca tempat kos, kontrakan, rumah), termasuk kebutuhan primer yang pertama untuk dipikirkan dan diusahakan untuk diwujudkan. 

Seiring dengan jumlah permintaan papan yang terus meningkat, kebutuhan perumahan (apalagi metropolitan Jakarta), semakin tidak seimbang dengan persediaan lahan yang luasnya tetap. Akibatnya pembangunan apartemen menjadi solusi untuk memenuhi permintaan konsumen yang membutuhkan papan.

Tinggal di apartemen dengan segala plus minusnya menjadi pilihan yang harus ditentukan, suka tidak suka, tetapi harus memilih. Apalagi  apartemen lokasinya strategis, dekat perkantoran dan pusat perbelanjaan, pasti banyak peminatnya khususnya bagi orang yang sudah berlebih. 

Namun ada kecenderungan generasi milenial yang sudah bekerja dan masih bujangan memilih tinggal di apartemen, baik menyewa, mendapat fasilitas kantor dan membeli sendiri. Alasannya karena praktis, terbebas dari kemacetan parah, dekat dengan kantor, sehingga waktunya tidak habis di jalan.

Menempati apartemen mewah seperti hotel bintang dengan fasilitas lengkap, kolam renang, food court, pusat belanja kebutuhan sehari-hari, parkiran, rasa aman selama 24 jam karena ada security yang siaga, recepsionis yang ramah dengan senyuman dan sapaan sopan, rasa nyaman. Suasana di kamar yang tenang, sungguh dapat menjadi tempat yang dapat menginspirasi. 

Apalagi ketika pandangan mata dari balik jendela kaca besar melihat kota Jakarta dari lantai 15 sangat eksotis, walau kaki gemetaran karena pobia ketinggian. 

Dasar orang "udik" ketika mendapat kesempatan di apartemen dalam hati cuma berguman, apa yang ingin dicari orang-orang yang tinggal di apartemen ini ? Ketenangan, kemandirian, kemerdekaan didapatkan, namun dibalik semua itu bagi saya generasi "baby bomer", merasakan ada sesuatu yang hilang yaitu kebutuhan sosial (berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, tetangga terdekat). 

Walaupun kebutuhan sosial ini dapat dipenuhi dari tempat lain, dilingkungan kerja, komunitas, namun di apartemen tidak didapatkan, karena masing-masing sudah dengan urusannya sendiri, "loe loe, gue, gue", sangat individual, egoistis.

Kesimpulannya, ketika memutuskan tinggal di apartemen itu kebutuhan secara sosial kurang terpenuhi, walaupun kebutuhan rasa aman, nyaman, papan, sandang, pangan sudah terpenuhi. 

Hidup sendiri di apartemen itu sangat sunyi, sepi, sendiri, kalau sudah masuk kamar seakan sudah putus denga dunia luar, walau dengan kecanggihan smartphone semua dapat dipenuhi untuk makanan dapat bisa pesan "go food", bila mau pergi tanpa harus setir sendiri sudah tersedia grab baik dengan motor maupun mobil. Inilah pilihan tinggal di apartemen, untuk sehari sampai seminggu mungkin masih bisa beradaptasi, namun untuk tinggal dalam kurun waktu tahunan, bagi saya harus berpikir seribu kali. 

Maka wajar bila setiap kali saya ditanya oleh kolega, teman, orang yang baru kenal, selalu muncul pertanyaan dengan nada agak heran:"Ibu tinggal di apartemen itu? Saya jawab dengan jujur, "tidak hanya menengok anak yang mendapat fasilitas dari kantornya". Rupanya saya tidak mempunyai "tampang" tinggal di apartemen.

Yogyakarta, 19 Nopember 2018 Pukul 17.14