Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tinggal di Apartemen, Kebutuhan atau Tren?

19 November 2018   17:07 Diperbarui: 21 November 2018   17:34 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: properti.kompas.com

Namun ada kecenderungan generasi milenial yang sudah bekerja dan masih bujangan memilih tinggal di apartemen, baik menyewa, mendapat fasilitas kantor dan membeli sendiri. Alasannya karena praktis, terbebas dari kemacetan parah, dekat dengan kantor, sehingga waktunya tidak habis di jalan.

Menempati apartemen mewah seperti hotel bintang dengan fasilitas lengkap, kolam renang, food court, pusat belanja kebutuhan sehari-hari, parkiran, rasa aman selama 24 jam karena ada security yang siaga, recepsionis yang ramah dengan senyuman dan sapaan sopan, rasa nyaman. Suasana di kamar yang tenang, sungguh dapat menjadi tempat yang dapat menginspirasi. 

Apalagi ketika pandangan mata dari balik jendela kaca besar melihat kota Jakarta dari lantai 15 sangat eksotis, walau kaki gemetaran karena pobia ketinggian. 

Dasar orang "udik" ketika mendapat kesempatan di apartemen dalam hati cuma berguman, apa yang ingin dicari orang-orang yang tinggal di apartemen ini ? Ketenangan, kemandirian, kemerdekaan didapatkan, namun dibalik semua itu bagi saya generasi "baby bomer", merasakan ada sesuatu yang hilang yaitu kebutuhan sosial (berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, tetangga terdekat). 

Walaupun kebutuhan sosial ini dapat dipenuhi dari tempat lain, dilingkungan kerja, komunitas, namun di apartemen tidak didapatkan, karena masing-masing sudah dengan urusannya sendiri, "loe loe, gue, gue", sangat individual, egoistis.

Kesimpulannya, ketika memutuskan tinggal di apartemen itu kebutuhan secara sosial kurang terpenuhi, walaupun kebutuhan rasa aman, nyaman, papan, sandang, pangan sudah terpenuhi. 

Hidup sendiri di apartemen itu sangat sunyi, sepi, sendiri, kalau sudah masuk kamar seakan sudah putus denga dunia luar, walau dengan kecanggihan smartphone semua dapat dipenuhi untuk makanan dapat bisa pesan "go food", bila mau pergi tanpa harus setir sendiri sudah tersedia grab baik dengan motor maupun mobil. Inilah pilihan tinggal di apartemen, untuk sehari sampai seminggu mungkin masih bisa beradaptasi, namun untuk tinggal dalam kurun waktu tahunan, bagi saya harus berpikir seribu kali. 

Maka wajar bila setiap kali saya ditanya oleh kolega, teman, orang yang baru kenal, selalu muncul pertanyaan dengan nada agak heran:"Ibu tinggal di apartemen itu? Saya jawab dengan jujur, "tidak hanya menengok anak yang mendapat fasilitas dari kantornya". Rupanya saya tidak mempunyai "tampang" tinggal di apartemen.

Yogyakarta, 19 Nopember 2018 Pukul 17.14    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun