Sejak dari Yogyakarta memang sudah mempunyai agenda ke Perpustakaan Nasional di Jalan Medan Merdeka Selatan No.11 Jakarta Pusat. Tujuan utama mencari inspirasi untuk menulis di Kompasiana, dan lebih dekat merasakan sensasi di Perpustakaan Nasional RI, yang diklaim sebagai perpustakaan  tertinggi di dunia.
Kali ini adalah kunjungan ke-2 setelah yang pertama pada  tanggal 10 Januari 2018 ketika audiensi dengan Ketua IPI, Kepala Perpustakaan Nasional membahas tentang pustakawan utama di perguruan tinggi. Sampai hari ini tidak tahu kelanjutan hasil audiensi tersebut, yang pasti saya tetap gagal menjadi pustakawan utama.Â
Andaikan ada kelanjutannya pun bagi saya sudah tidak berpengaruh, namun yang pasti dapat mengambil hikmah dari kegagalan ini. Salah satunya saya bisa bebas pergi kemanapun tanpa harus membuat surat ijin kepada atasan, karena sudah proses pensiun sebagai PNS. Prinsipnya status PNS boleh pensiun, tetapi profesi pustakawan yang senang menulis tidak boleh pensiun. Â
Di Perpustakaan Nasional ketemu dengan pak Yoyok, kolega pustakawan yang masih aktif sebagai PNS. Beliaulah yang menawari saya untuk mengikuti diskusi yang sedang berlangsung di lantai 2, berjudul:"Merawat Biodiversitas Indonesia, Merawat Masa Depan". Sesi pertama sudah lewat, saat rehat dipersilakan panitia langsung bergabung, walaupun awalnya tidak ada satu pun dari peserta diskusi yang kenal baik wajah maupun nama.Â
Namun ada wajah dan nama sangat familiar sering muncul di televisi yaitu Prof. Dr. Emil Salim mantan Menteri Lingkungan Hidup era Suharto. Muncul dugaan pastinya diskusi ini membahas tentang lingkungan hidup, walaupun dalam batin mengatakan :"tidak salah saya masuk mengikuti diskusi ini ?. Rasa penasaran, terjawab setelah mengikuti diskusi di sesi kedua. Acara  ini yang menyelenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), yang memang mempunyai kantor di Perpustakaan Nasional lantai 2 dan lantai 11.
Panitia dan peserta yang ramah mempersilakan langsung bergabung dalam rehat. Mengikuti diskusi kali ini menjadi tersanjung karena pesertanya para ilmuwan yang umumnya bergelar gurubesar (profesor), doktor, dari berbagai perguruan tinggi terkenal di Indonesia. Walau usia peserta rata-rata diatas 75 tahun, namun yang patut dibanggakan adalah semangatnya luar biasa untuk mengikuti, menanggapi diskusi ini dengan serius. Jadi ingat Prof. Dr. Somadikarta gurubesar emeritus dari MIPA UI ahli masalah burung di Indonesia. Gaya bicara para peserta  masih lantang, jelas, runtut, dan penuh energi, walau dengan tongkat sebagai penyangga tubuhnya bukan halangan untuk menghadiri acara diskusi ini, sampai selesai.
Sesi pertama berupa paparan dari Prof. Dr. Emil Salim yang berjudul:"Tiga Tantangan Lingkungan Generasi Milenial". Intinya menjelang tahun 2030 generasi milenial masa kini menjadi penanggung jawab dalam menjawab tiga tantangan lingkungan hidup yaitu:
- Gangguan alam bumi berupa gempa dan ancaman tsunami akibat benturan lempeng tektonik Euro-Asia di bagian barat Sumatera, benturan lempeng Indonesia di bagian selatan pulau Jawa dan benturan lempeng tektonik pasifik dan Indonesia Timur. Letusan gunung berapi yang mengitari bagian Indonesia:"the ring of fire". Iptek kebumian bisa mendeteksi kondisi dan potensi serta karakteristik "soil liquification" dan lokasi garis benturan lempeng tektonik seperti Pali-Komoro sudah diungkapkan oleh Prof. Dr. John Katili tahun 1970-an, 48 tahun sebelum terjadi gempa Palu-Donggala tahun 2018. Masalahnya, bagaimana hasil kajian ilmuwan dapat menjadi masukkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional.
- Dunia sekarang lebih panas suhu buminya dengan 1 derajat Celsius dibandingkan dengan masa pra industri. Peningkatan emisi CO2 dunia global perlu turun dari emisi tahunan (2016) sebesar 52 GtCO (ekuivalen) menjadi 25 sampai 30 GtCOe (2030) agar suhu bumi tidak semakin naik diatas 1,5 derajat Celsius. Cendekiawan punya peranan menyusun konsep ilmiah mendukung tercapainya sasaran ini.
- Keanekaragaman hayati Indonesia tergolong tertinggi di dunia, baik di daratan, lautan dan dasar lautan. Nilai tambah dari sumber daya alam hayati yang beranekaragam belum sepenuhnya dikembangkan, bahkan manusia telah melenyapkan 60 persen kekayaan hayati sejak tahun 1970 akibat deforestasi, poaching, land use, invasi dari species asing dalam ekosistem.
Diskusi ini ternyata sangat menarik, dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi siapa saja yang mengikuti. Juga diskusi tentang draf buku tentang "Sains untuk Biodiversitas Indonesia", dengan kontributor penulis para cendekiawan yang ahli dibidangnya. Rencana buku ini berisi mukadimah dan 7 (tujuh) bab I latar belakang, II. Mega biodiversitas: kado alam untuk Indonesia, III. ekonomi biodiversitas Indonesia, IV. Tantangan, Ancaman, dan Upaya Konservasi, V. Sains dan Teknologi Garda Depan untuk Biodiversitas Indonesia, VI. Pengarusutamaan sains biodiversitas Indonesia, dan VII. Rekomendasi.
Sungguh terbitnya buku ini sangat dinantikan yang pastinya berguna bagi pembanguan di Indonesia ke depan yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.Â
Para pemimpin negeri ini siapapun yang terpilih pada tahun 2019 nanti, dapat menjadikan buku ini sebagai referensi untuk menentukan arah kebijakan tentang lingkungan hidup. Hal ini dimaksudkan agar sumber keanekaragaman hayati dapat memberikan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tanpa merusak ekosistem dan lingkungan hidup. Semoga
Yogyakarta, 15 Nopember 2018 Pukul 23.54
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H