Membaca tulisan di Kompasiana berjudul:"Plus Minus Meminjam uang di teman Sendiri", oleh Pical Gadi, Â jadi teringat wajah "memelas" orang-orang yang membutuhkan uang, sehingga "terpaksa" meminjam. Sejatinya setiap orang sudah mendapat rejeki sesuai dengan ketentuan Alloh SWT, yang tidak mungkin tertukar antara yang satu dengan yang lain.Â
Bukan berarti tidak perlu bekerja, rejeki akan datang sendiri, seperti mengharap "durian runtuh", tetapi rejeki harus dijemput dengan usaha-usaha yang baik dan benar.
Ibaratnya walau dikejar sampai ujung dunia sekalipun, dan sudah di depan pintu rumah pun kalau bukan dan belum rejeki, pasti tidak akan dapat menikmati. Sebaliknya kalau memang sudah hak kita, ada saja "jalan" rejeki yang terbuka.Â
Tidak percaya, coba ingat pernahkah tiba-tiba mendapat "email", WA, yang memberitahukan anda diterima menjadi CPNS, untuk mengambil honor mengajar, menang dalam lomba, atau mendapat hadiah dari bank ?. Tidak ada sesuatu yang "kebetulan", tetapi semua itu sudah ketentuan.
Persoalan utama, orang tidak sabar untuk cepat mendapatkan rejeki seperti yang sudah didapatkan orang lain. Akibatnya "merasa' kurang terus dan tidak mensyukuri apa yang sudah dimiliki. Dalam kondisi demikian timbullah niat untuk mencari pinjaman, kalau PNS dapat "menggadaikan/menyekolahkan" Surat Keputusan (SK) sebagai PNS.Â
Sedang orang yang tidak mempunyai SK, dapat "menyekolahkan" BPKB, Ijazah, bahkan sertifikat tanah sebagai agunan/jaminan. Bagaimana kalau tidak mempunyai agunan yang berharga, untuk dilelang ketika kreditnya macet. Â
Hal ini mengingat orang itu cenderung lebih senang dan bersemangat mengajukan hutang, tetapi saat jatuh tempo, tiba-tiba "gairah" untuk membayar hutang itu hilang.Â
Untuk menghindari birokrasi, keribetan ini, Â maka hutang kepada teman, saudara, tetangga, relasi, menjadi pilihan yang paling ringan, tanpa agunan/barang jaminan, bayarnya dapat molor dan tidak ada sanksi bunga ataupun denda.
Namun untuk meminjam kepada temanpun harus tepat sasaran, yang mudah merasa iba, mempunyai jiwa sosial, dan semangat menolong kesusahan orang lain, serta tidak pernah berkata "tidak". Apalagi ketika mengajukan hutang dengan bersandiwara, tidak jujur, dan pemain watak dengan memakai "topeng" kesedihan mendalam.Â
Untuk dipahami bahwa pribadi "pengutang" itu ada yang benar-benar jujur menceriterakan kondisinya yang sangat membutuhkan uang. Namun  banyak yang tidak jujur dengan dirinya sendiri, sehingga "mengarang" cerita agar mendapatkan pinjaman uang.Â
Orang yang terbiasa tidak jujur ini suatu saat dapat merugikan dirinya sendiri, sehingga tidak ada lagi orang yang percaya bualan ceritanya.
Ketika sudah mendapatkan pinjaman uang, dan sudah mulai jatuh tempo dari yang dijanjikan, apa yang dilakukan oleh para pemilik uang untuk menariknya  ?. Hal-hal yang perlu diupayakan sebagai berikut:
- Bila orang yang berhutang itu jujur dengan dirinya sendirinya, pasti mempunyai  "niat baik" untuk mengembalikany, dan dapat dipercaya janjinya. Kalaupun sudah jatuh tempo sesuai dengan kesepakatan, belum bisa membayar pasti akan memberitahukan dengan permintaan maaf. Juga melakukan jadwal ulang minta waktu untuk secepatnya membayar, karena mempunyai prinsip "hutang itu wajib dibayar".  Bersabarlah untuk menunggu dan memberi toleransi waktu untuk mengembalikan.
- Masalah yang sering terjadi bila yang hutang itu sejak awal sudah tidak jujur, sehingga sudah jatuh tempo pun pura-pura lupa. Menghadapi kondisi ini, diamkan sampai batas waktu tertentu harus menagihnya. Kalaupun menunda pembayarannya, harus segera ditagih lagi bila yang disepakati sudah jatuh tempo. Apalagi orang yang hutang itu ada gejala sengaja tidak akan membayar, hal ini bisa dilihat ketika punya uang bukannya untuk membayar hutang, tetapi untuk membeli barang-barang, atau bepergian rekreasi.
- Kalau sudah habis kesabarannya dan tetap belum membayar dengan berbagai alasan, maka perlu dengan "ancaman/gertak sambal", katakan masalah utang itu akan dilaporkan pada pimpinan bila pegawai/PNS. Hal ini bisa membuat "keder" karena takut "kredibilitas' dan nama baiknya tercemar, sehingga cepat membayar.
- Bila dengan ancaman ini tetap membandel tidak membayar, laporkan kepada pihak berwajib (polisi) kalau yang dipinjam nominalnya besar. Namun melakukan tindakan inipun harus dengan perhitungan. Apalagi bila perkaranya sampai pengadilan untuk menuntut ganti rugi material dan inmaterial dan menggunakan jasa konsultan hukum yang tidak gratis.
- Menagih hutang yang peminjamnya "tebal buka", memang sangat menjengkelkan, apalagi biasanya  lebih "galak" ketika ditagih utangnya, dibandingkan saat meminjam. Lebih sadis lagi untuk menutupi status yang sudah mendapat "cap sebagai pengemplang", justru menyerang balik pemilik uang dengan menyebarkan berita bohong (hoaks), sebagai rentenir. Orang model kaya gini memang tidak tahu diuntung, tidak merasa kalau sudah ditolong, tetapi justru memukul balik penolong.
- Untuk itu menghadapi pengutang yang ngemplang harus tetap waspada, karena niat jahatnya sering menguasai hati nuraninya yang sudah tertutup "noda hitam" dan sulit untuk dibersihkan. Â
- Apabila sudah tidak mungkin lagi uang itu kembali dengan berbagai macam cara, jalan terkahir memang menyakitkan, "ikhlaskan", dan ambil hikmah dari semua ini. Intinya jangan mudah percaya oleh omongan, penampilan, dan janji orang lain saat akan hutang. Apalagi dengan imbalan tambahan persentase. Ini jelas riba dan tidak memberi manfaat untuk kehidupan.
- Hindari dan catat orang tersebut masuk "daftar hitam/black list", orang-orang yang tidak jujur, tidak bisa dipercaya, dan jangan pernah untuk memberi pinjaman uang dengan alasan apapun. Artinya tanpa disadari pengemplang itu telah merugikan orang lain, dirinya sendiri dan keluarganya.Minimal untuk pinjam uang pun sudah tidak dipercaya lagi, sungguh sangat menderita bukan ?.
Waspada , hati-hati, bukan curiga dan berpikiran negatif menghadapi  orang-orang dengan model sebagai "pemain peran" dalam kehidupannya yang penuh dengan tipu muslihat dan sandiwara.
Yogyakarta, 1 Nopember 2018 Pukul 11.28 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H