Kehidupan ini bagaikan gelombang lautan yang terus bergulung  tanpa henti sedetikpun, selama 24 jam non stop. Sepanjang masih ada angin, gelombang tidak akan berhenti  datang silih berganti dengan riak, gulungan bahkan tsunami. '
Demikian juga masalah media dari cetak mengalami perkembangan tiada hendti sesuai dengan tuntutan konsumen yang lebih senang membaca secara digital. Hilangnya pelanggan cetak secara langsung berpengaruh pada oplah, sehingga suka-tidak suka era digital ini pasti berpengaruh signifikan.Â
Era digital dengan "big data" di "cloud computing"tidak bisa ditolak, dibendung dengan tembok beton pun, semua  dapat ditembus dan diendus. Era yang serba praktis, simpel, gratis, mudah, dan murah, sudah dihadapan kita tanpa bisa menghindari apalagi lari.Â
Semua ini adalah sudah zamannya, Â yang harus disikapi dengan lapang dada, landasan pengetahuan dan wawasan luas, serta bijaksana untuk dapat mengambil manfaat, mengindarkan mudarat (yang merugikan).
Kembali ke soal media cetak, jauh sebelum ditemukan mesin cetak oleh Gutenberg pada abad ke-16, ketika kehidupan masyakarat masih nomaden sudah dikenal tanda sebagai media komunikasi melalui bahasa tulisan yang dipahatkan pada pohon, batu, Â papan, lempengan, serta benda lainnya untuk menyampaikan berita.Â
Tanda, tulisan yang dipahatkan pada pohon atau batu itu sebagai cantuman (record), tentang apa yang dikatakan manusia atau apa yang perlu diketahui seseorang. Pahatan itu dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Kemudian orang Mesir menemukan papyrus, yang terbuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sepanjang sungai Nil.Â
Rumput tersebut dipukul-pukul , dikeringkan dan digunakan untuk menulis dengan pahatan dan tinta. Dari papirus ini berkembang paper yang berarti kertas. Kemudian di Cina pada abad pertama masehi ditemukan sejenis bahan mirip kertas.Â
Sementara di Eropa menggunakan kulit binatang kambing, biri-biri, domba, sapi, dan binatang lainnya yang disebut parchmen, dan vellum terbuat dari kulit sapi (Sulistyo Basuki, 1991:19-21).
Penemuan mesin cetak oleh Guterburg menjadi titik awal munculnya produksi buku, dan media massa cetak untuk menyampaikan berita. Sampai saat ini masih bisa dirasakan manfaatnya  oleh umat manusia diseluruh dunia. Namun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi  dan  komunikasi yang sangat cepat, dapat memberi dampak diberbagai bidang kegiatan dan kehidupan manusia. Â
Salah satunya adalah di bidang percetakan, dimana surat kabar, majalah, yang awalnya mengandalkan alat percetakan secara masif bertranformasi ke digital.Â
Bagi yang tidak siap melakukan penyesuaian dengan perubahan yang cepat, atau melakukan tertobosan yang revolusioner cepat atau lambat akan ditinggalkan para konsumen yang sebagain besar generasi milenial. Beda generasi beda "selera" untuk menikmati bacaan media massa, tidak lagi berbentuk cetak, tetapi digital.
Di Amerika Serikat, majalah "Time", sudah gulung tikar, diakuisisi per 1 Februari 2018 oleh Meredith Corp. Akuisisi ini juga berdampak pada media lain seperti Fortuna, Sport Illustrated, dan People, yang mulai bermasalah dalam tumbuh kembangnya.Â
Di Indonesia tabloid Bola berisi tentang olah raga, awalnya  terbit sebagai sisipan harian Kompas sejak tanggal 3 Maret 1984. Kemudian terpisah hingga tahun 1997, secara resmi pada tanggal 17 Oktober 2108 mengumumkan akan menghentikan penerbitannya, diakhir bulan Oktober 2018.Â
Artinya tinggal bulan ini sebagai bulan terakhir untuk dapat melihat bola secara cetak, yang mundur dengan teratur, dan tersimpan secara rapi di museum media massa untuk diceritakan kepada generasi selanjutnya.
Sedih memang, namun apa dikata semuanya itu terjadi karena tuntutan perkembangan zaman yang tidak bisa dibendung, cuma dapat dicarikan solusi yang terbaik. Secara cetak boleh berhenti dan berapa ribu orang yang kehilangan sumber pendapatannya karena tabloid Bola. Masih menunggu tabloid, majalah, surat kabar yang menyusul mengumumkan berhentinya edisi cetak.Â
Masih mending kalau diganti dengan versi digital, kalau tidak berarti benar-benar lenyap tersapu gelombang "tsunami" Â dan "likuifaksi" berhala yang namanya "internet".Â
Tidak ada yang bisa menghalangi  dahyatnya teknologi dan komunikasi yang mampu melibas apapaun yang menjadi sasarannya. Sebaliknya kehebatannya diakui  menjadikan informasi apapun, dari manapun dapat dibawa kemanapun dalam genggam tangan kita.
Selamat jalan tabloid Bola, walaupun telah menghilang bersama lapak-lapak dipinggir jalan yang menjadi langganan setia, tetap menjadi kenangan yang indah ketika merasakan aroma kertas koran dari percetakan.Â
Diyakini pangsa pasar media cetak semakin surut seiring berkurangnya generasi baby bomer, digantikan oleh generasi milenial yang menghendaki media digital sebagai teman setianya.Â
Inilah tuntutan dan perubahan zaman, setiap generasi mempunyai "selera" yang berbeda dengan informasi. Walaupun suatu saat ada kerinduan yang mendalam, sehingga bukan hal yang aneh bila dari cetak digitalkan dan dicetak, sehingga percetakan tidak lagi bicara oplah, tetapi sesuai permintaan.
Yogyakarta, 24 Oktober 2018 Pukul 13.02
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H