Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Penambahan Kuota SBMPTN di Seleksi Mahasiswa Baru 2019

24 Oktober 2018   00:47 Diperbarui: 24 Oktober 2018   11:31 1107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Para lulusan SMA/SMK sederajat tahun 2018 dan sebelumnya, mempunyai peluang masuk melalui jalur SNMPTN tanpa tes lebih besar karena prestasi akademik mendapat kuota minimal 30 persen. 

Prestasi akademik dibuktikan dengan pencapaian nilai rapot sejak semester 1 (satu) sampai semester 5 (lima) untuk masa belajar 3 (tiga) tahun, dan semester 1 (satu) sampai 7 (tujuh) yang masa belajarnya 4 (empat) tahun.

Pihak sekolah yang proaktif untuk mengisi data Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN), siswa mempunyai Nomor Induk Siswa Nasional (NISN), memiliki prestasi akademik 10 besar paralel, atau tiga besar kelas. Akreditasi sekolah A dapat mendaftarkan 50 persen siswa terbaiknya, akreditasi B, 30 persen, dan akreditasi C sebesar 10 persen. 

Mulai tahun 2019, peluang masuk melalui jalur SNMPTN untuk setiap program studi dikurangi menjadi minimal 20 persen, artinya persaingan semakin ketat. 

Oleh karena itu dalam memilih program studi harus memperhatikan jumlah peminat, diperhitungkan dengan tepat. Sedang jalur SBMPTN dilakukan lewat ujian tulis berbasis komputer, kuota yang diterima bertambah minimal sebesar 40 persen (tahun lalu 30 persen).

Untuk kuota jalur mandiri tetap maksimum sebesar 30 persen, dapat memanfaatkan hasil ujian tulis berbasisi komputer (UTBK). Seleksi jalur mandiri tingkat kesulitan soal setiap PTN tentu berbeda. 

Hal ini karena PTN tersebut ingin mendapatkan calon mahasiswa dengan input yang baik, agar outputnya lebih baik setelah melalui proses belajar mengajar sesuai standar nasional dan internasional.

Di sinilah yang membedakan out put antara satu PTN dengan PTN lain. Out put lulusan mempunyai korelasi positif dengan masa tunggu mendapatkan pekerjaan. Dapat menjadi objek penelitian yang menarik untuk membuktikan hipotesis ini.

Perubahan kuota ini dilakukan bukan tanpa alasan, karena calon mahasiswa yang diterima di PTN tanpa melalui tes tertulis yang berdasarkan nilai rapor ternyata tidak selalu berkorelasi dengan prestasi baik di PTN. Artinya tidak menjadi jaminan ketika di SMA nilai rapotnya selalu baik, saat kuliah dapat mempertahankan prestasinya dengan perolehan indeks prestasi komulatif (IPK).

Justru yang masuk dengan ujian tertulis akademiknya baik, dibuktikan dengan IPK maksimal. Banyak faktor dapat memengaruhi (perubahan cara belajar di SMA dan perguruan tinggi, harus hidup mandiri sebagai anak kos, "shock culture"). Apalagi kualitas antar SMA berbeda, walaupun dalam satu kota, bahkan satu kecamatan. Di masyarakat menyebutnya sebagai SMA "favorit" dengan SMA setengah "favorit", dan tidak "favorit".

Pemerintah memang berusaha menghilangkan dikotomi antara SMA favorit dan tidak favorit dengan penerimaan murid baru berdasarkan sistem zonasi. Bukan tidak setuju sistem zonasi, untuk menghilangkan "brand"  favorit dan menciptakan "brand" favorit itu perlu proses, sarana prasarana, infrastruktur, dan kualitas guru kelas yang kompeten di bidangnya.

Bukan hal aneh bila nilai 8 (delapan) dalam rapot dari siswa SMA itu mempunyai bobot dan kualitas tidak sama dengan SMA lain dalam satu kota sekalipun. Padahal ketika diterima di PTN tanpa tes, nilai 8 (delapan) itu "dianggap" sama. Akibatnya dalam tahun pertama kuliah, selain ada evaluasi prestasi berdasarkan IPK minimum 2.0 dan perolehan SKS minimum 30. Kalau demikian prestasinya, maka terancam Drop Out (DO).

Oleh karena itu Menristek dan Dikti Mohammad Nasir, tahun 2019 membuat gebrakan yang revolusioner berkaitan dengan seleksi masuk mahasiswa baru, yang lebih mengedepankan ujian tertulis dengan menambah kuota yang diterima. Calon mahasiswa mengikuti ujian tertulis dengan UTBK dilaksanakan 24 kali dalam 12 hari setiap tahun, pada hari Sabtu dan Minggu.

Hasil UTBK ini baru dibawa ke PTN untuk mendaftar. Artinya penerimaan calon mahasiswa baru dengan sistem lama seperti tahun 2018 dan sebelumnya, sudah tidak berlaku lagi, dimana mendaftar dulu baru tes tertulis serentak seluruh Indonesi hanya sehari di hari Minggu tinggal menjadi kenangan.

Seperti yang dikatakan oleh Menristek dan Dikti: "Mulai tahun 2019 pelaksanaan SBMPTN diubah, ujian tulis berbasis kertas dan berbasis komputer yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia selama satu hari ditiadakan. Tes tertulis dilakukan lewat UTBK yang dapat diikuti calon mahasiswa kapan saja selama periode ujian, maksimum dua kali tes".

Penyelenggaraan UTBK lembaga tes masuk perguruan tinggi (LTMPT) dengan tes potensi skolastik untuk mengukur kemampuan penalaran dan pemahaman umum, ini penting untuk mengukur keberhasilan di sekolah formal. Sedang tes potensi akademik untuk mengukur penguasaan materi yang diajarkan di sekolah dengan soal-soal higher order thingking skills (Kompas, 23 Oktober 2018).

Lulusan SMA yang sudah siap secara lahir batin, dengan persiapan ilmu yang diperoleh selama di SMA/SMK dan sederajat tidak ada masalah dengan sistem seleksi apapun. Apalagi anak yang berprestasi, nilai-nilai yang terukir dalam rapot dapat dipertanggungjawabkan baik dengan tanpa tes maupun dengan tes tertulis. Semuanya itu dapat dibuktikan dengan nilai-nilai ujian selama kuliah dengan IPK  "cum laude" .

Apapun sistemnya kejujuran itu tetap membuahkan hasil yang membanggakan. Jadi mulailah mengukir prestasi sejak dini dengan berpegang teguh pada nilai-nilai moral, yang beretika dan sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan. 

Tidak ada kata terlambat untuk mulai "jujur" dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan untuk menggapai asa setinggi langit. Berani jujur itu hebat, seperti semboyan KPK.

Yogyakarta, 24 Oktober 2018 Pukul 00.12

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun