Momen pernikahan menjadi kenangan yang indah sepanjang kehidupan setiap orang, ada ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami istri, untuk membina rumah tangga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Â
Artinya ketika ijab dan qobul diucapkan di depan petugas pencatat nikah (KUA), dengan 2 (dua) orang saksi, maka sejak saat itu hubungan laki-laki dan perempuan sudah sah menurut hukum agama dan hukum negara. Konsekwensinya muncul hak dan kewajiban antara suami istri sesuai dengan pasal 30 -- 34 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diantaranya suami sebagai kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga, yang wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Tegaknya rumah tangga sebagai sendi dasar dari susunan masyarakat, menjadi tanggung jawab bersama antara suami istri. Masing-masing mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat serta melakukan perbuatan hukum.Â
Kondisi ini semestinya yang perlu dipahami oleh para pasangan baru dalam mengendalikan biduk rumah tangga, sehingga tahan dengan gonjangan dan badai yang dapat mengganggu perjalanan untuk mencapai tujuan.Â
Oleh karenanya syarat pernikahan 16 bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, semestinya ditaati. Bahkan usia minimum pernikahan ini telah mengalami perubahan untuk perempuan minimum 20 tahun dan ;laki-laki 25 tahun.Â
Maksudnya supaya sudah siap secara lahir batin, jiwa raga, biologis, psikologis, ekonomi, dan sosial, sehingga bila menghadapi persoalan kehidupan dapat menyelesaikan dengan kemampuan intelektua, emosional, dan spiritual. .
Selain faktor usia yang menjadi syarat menentukan, masih harus memenuhi syarat administrasi yang perlu dilengkapi. Pendaftaran di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dari domisili pihak perempuan, dengan membawa surat keterangan dari pihak laki-laki yang disahkan lurah dan camat tentang identitas dan status perjaka (bila belum pernah menikah).
 Seorang laki-laki saat melakukan pernikahan wajib memberikan mahar atau mas kawin kepada perempuan calon istrinya sesuai dengan tuntunan Agama Islam. Mahar ini, biasanya diberikan dalam bentuk tunai (cash), walaupun sebenarnya dapat di hutang. Namun pihak laki-laki jarang membayar mahar dengan dihutang (ditunda), selain menyangkut "harga diri" juga "prestige" keluarga besarnya yang dipertaruhkan.
Di Kabupaten Sleman Propinsi DIY, sejak tanggal 1 Januari 2014 sesuai dengan Surat Edaran (SE) Kemenag Kabupaten Sleman No.Kd.12.04/1/PW.00.1/33.1/2014, mewajibkan setiap calon pengantin memberi mahar bibit pohon, selain mahar yang sudah biasa.Â
Latar belakang kewajiban mahar berupa bibit pohon/buah, untuk melestarikan alam, mengingat letak geografis Sleman sebagai daerah penyangga kebutuhan air untuk wilayah dan sekitarnya.Â
Sekilas tidak ada hubungannya dengan pernikahan yang akan melestarikan keturunan, namun mengingat pernikahan sebagai momen yang suci perlu ditandai (sebagai monumental) dengan menanam pohon di pekarangan pengantin.Â
Terobosan yang dilakukan oleh Kakadepag Sleman  Muhammad Lutfi Hamid (waktu itu), sangat bagus dan perlu didukung. Selain itu untuk meluruskan pemahaman masyarakat bahwa mahar/mas kawin tidak harus berupa seperangkat alat sholat, Al Qur'an, tetapi bisa yang lain, emas batangan, perhiasan, uang (tidak harus nilai rupiah bisa dolar, yen, dinar, riyal, dll), termasuk bibit pohon/buah.
Sebenarnya bibit pohon/buah ini dapat diminta secara gratis di Dinas Pertanian Propinsi DIY, namun biasanya calon mempelai membeli di perorangan yang menyediakan bibit tanaman pohom/buah. Kemudian berhubung saat ini lahan pekarangan (bila di perumahan) tidak memungkinkan untuk ditanami pohon/buah, maka bibit tersebut diserahkan ke KUA.Â
Di Sleman rupanya sudah menjadi kebiasaan ada syarat menyerahkan bibit pohon/buah ketika mengurus ijin usaha (HO). Bila sudah terkumpul di kantor, bibit tersebut dibagikan secara gratis kepada masyarakat yang membutuhkan, atau ditanam di pinggir jalan (disesuaikan dengan kebutuhannya). Jadi pernikahan dengan mahar bibit pohon/buah dapat menjadi alternatif mahar/mas kawin pernikahan yang sangat unik dan berwawasan lingkungan.Â
Akan lebih baik lagi kalau kebijakan ini di buatkan Peratutan Daerah Sleman (diusulkan pemerintah Sleman dan dibahas DPRD Sleman). Kabupaten Sleman menjadi "pilot proyek" untuk memberi mahar berupa tanaman pohon/buah, dan Kepala KUA tiap Kecamatan di Sleman mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan kepada seluruh calon pengantin yang mendaftarkan di KUA. Â
Setelah di Sleman dapat berhasil mensosialisasinya mahar/mas kawin berupa bibit pohon/buah, dapat diperluas untuk wilayah Propinsi DIY, yang selanjutnya ditularkan sampai tingkat nasional.Â
Apabila program ini berhasil, maka kondisi Indonesia alam menjadi semakin hijau, seiring dengan jumlah pernikahan yang berlangsung. Hal ini dapat mencegah kekeringan di musim panas, dan mencegah banjir/longsor di musim hujan karena tanahnya tidak gundul, sehingga dapat menyimpan air hujan di tanah.Â
Sesuatu yang besar, perlu dimulai dari yang kecil dan segara dilakukan, tidak perlu ditunda-tunda. Pernikahan dengan mas kawin yang unik dan mempunyai wawasan lingkungan, perlu di viralkan sehingga menasional dan mendunia.
 Yogyakarta, 15 Oktober 2018 Pukul 22.51
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H