Dalam Kongres Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) ke-XIV di Surabaya pada tanggal 9 - 12 Oktober 2018, Ketua IPI Pusat Dedi Junaedi mengatakan bahwa:"tingkat literasi masyarakat Indonesia tergolong rendah, hanya 1 orang dari 1000 orang yang membaca". Selanjutnya dkatakan:"Keberadaan perpustakaan yang dikelola oleh pustakawan yang kreatif diyakini dapat meningkatkan ketertarikan masyarakat untuk membaca, sekaligus membenahi tingkat literasi.
Di Indonesia ada  251.428 perpustakaan, namun paradigma tentang perpustakaan harus diubah, bukan sekedar tempat membaca, melainkan tempat berkegiatan yang menunjang pemahaman sampai keterampilan hidup"  (Kompas, 10/10/2018).
Berdasarkan pernyataan Ketua IPI tersebut ditekankan bahwa pustakawan kreatif yang selalu mempunyai terobosan mempunyai peran yang sangat penting untuk meningkatkan budaya baca.Â
Pernyataan ini memang benar dan sudah terbukti di Finlandia sebagai negara dengan tingkat literasi nomor satu di dunia. Salah satu penyebabnya karena perpustakaan ada dimana-mana (mall, stasiun, bandara, tempat umum), sehingga tidak ada alasan untuk tidak membaca.Â
Selain itu pustakawan yang simpatik, ramah, siap untuk menjawab pertanyaan dari pengunjung menjadi daya tarik yang tidak terbantahkan. Artinya pustakawan itu sebelum berperan memberi literasi harus mempunyai literasi terlebih dahulu. Â
Aneh rasanya kalau masyarakat harus mempunyai literasi tinggi tidak ada bimbingan, arahan, dari pustakawan, selain orang tua, guru, dan tokoh masyarakat yang memberi contoh.
Kalau saat ini hampir semua orang sepakat generasi milenial identik dengan generasi "merunduk", yang selalu melihat gadget daripada lingkungan sekelilingnya. Bahkan ketika diajak bicara dengan orang yang lebih tua sekalipun, sikapnya tidak sopan, tidak menatap dan atau beradu mata dengan lawan bicara.Â
Hal ini karena terlalu asyiknya untuk melihat layar gadget, bahkan sambil tersenyum sendiri tanpa menghiraukan dan tidak konsentrasi dengan pembicaraan lawan bicara yang ada di depannya. Lawan bicara harus mengulang-ulang perkataan, karena tidak ada perhatian, konsentrasi dan jari-jari asyik memainkan keyboard gadget. Apa yang anda lakukan bila menghadapi hal ini?
Diam dan menutup pembicaraan dengan rasa jengkel, atau langsung pergi begitu saja dan memaklumi, atau menegur secara langsung ?. Sebagai orang yang masih mempunyai etika dan perasaan, pilihan yang diambil lebih baik diam dan menutup pembicaraan. Tidak perlu jengkel karena nanti menjadi penyakit hati, yang dapat menjadi penyakit beneran.
Kembali masalah budaya baca dan tulis pustakawan, yang sangat diyakini dapat meningkatkan literasi di Indonesia. Jumlah pustakawan berstatus PNS dan non PNS di Indonesia per Oktober 2018 ada 3.509 orang (http://pustakawan.perpusnas.go.id/).Â
Apakah dari jumlah ini sudah mempunyai literasi yang tinggi ?. Belum ada penelitian secara ilmiah, namun dapat "diduga" belum semua mempunyai literasi tinggi. Walau diakui sudah ada pustakawan yang mempunyai literasi tetapi belum dapat dikatakan tinggi. Buktinya setiap tahun ada lomba hibah kompetisi yang diadakan oleh Perpustakaan Nasional RI, pesertanya masih dibawah 100 orang, padahal jumlah pustakawan 3.509 orang.Â
Dalam lomba yang temanya sudah ditentukan itu ada tawaran bagi pustakawan di seluruh Indonesia untuk melakukan penelitian, Â memperbutkan dana penelitian sebesar Rp 20 - 25 juta. Sepinya peminat patut diduga karena pustakawan belum siap melakukan penelitian ilmiah, walaupun sudah ada yang sudah siap lahir dan batin untuk berpartisipasi.
Dari kasus hibah kompetisi itu menggambarkan betapa tingkat literasi pustakawan masih memprihatinkan, apapun alasannya karena para pustakawan sering berkilah tidak ada waktu karena ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan, sibuk dengan tugas rutinitas. Ujungnya sampai tanggal jatuh tempo penyerahan proposal masih sedikit pustakawan yang berpartisipasi menjadi peserta.Â
Panitia biasanya memperpanjang waktu penyerahan proposal, tetap sepi peminat. Kondisi ini sudah memperlihatkan ada seleksi secara alamiah pustakawan yang mempunyai budaya baca dan tulis yang lebih tinggi dibandingkan dengan pustakawan lainnya. Bahwa untuk membuat proposal hibah kompetisi yang baik memenuhi syarat dan memenangkan itu perlu membaca referensi dan menulis proposal yang sesuai dengan tema.Â
Jadi bukan asal-asalan dan kebetulan pustakawan itu menang. Apalagi dalam sistem penilaian, yuri tidak pernah melihat proposal siapa yang dibaca (nama ditutup, atau dihapus), tetapi diberi kode oleh panitia dan yuri tidak pernah mengetahui itu proposal milik siapa. Artinya sistem penilaian obyektif, asli, transparan, dapat dipertanggungjawabkan. Tidak ada model kenal nama pustakawan yuri memenangkan, tidak ada KKN (korupsi, kolosi, nepotisme).
Profesi pustakawan pekerjaannya sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, koleksi, gudang ilmu. Semestinya mempunyai tingkat membaca dan menulis yang lebih tinggi daripada yang lain. Kalau seperti ini dapat dikatakan "ayam mati di lumbung padi" artinya mempunyai potensi dan kesempatan tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar. Akhirnya kesempatan itu hilang begitu saja, dan pustakawan tidak mendapatkan apa-apa.Â
Marilah para pustakawan instrospeksi dan bertanya pada diri sendiri, sudahkah mempunyai budaya baca dan menulis yang lebih tinggi ?. Jawabnya ada di hati nurani para pustakawan, andaikan belum mulai hari ini membaca apa yang ada disekitar kita. Semoga pustakawan menjadi pionir membudayakan dan menularkan "virus" membaca dan menulis di lingkungannya.
Yogyakarta, 14 Oktober 2018 Pukul 09.03
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H