Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Baca Rendah, Menyuburkan Hoaks

9 Oktober 2018   21:18 Diperbarui: 9 Oktober 2018   21:27 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sering dibahas masalah budaya baca yang rendah di Indonesia di berbagai pertemuan dan kesempatan. Hasilnya menurut studi dari John Miller, presiden "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada 2016, Indonesia peringkat ke-60 dari 61, di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Sedangkan  Finlandia di urutan pertama dunia sedang, Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia sebagai peringkat 2 sampai 5.

Hal menarik yang menjadikan Finlandai sebagai peringkat 1 literasi di dunia karena ada paket untuk orang tua yang baru memiliki bayi, termasuk buku. Perpustakaan ada dimana-mana (mall, stasiun, bandara, tempat umum), sehingga tidak ada alasan untuk tidak membaca

Usia sekolah dimulai tujuh tahun, lebih ke kolaborasi daripada kompetisi, permaianan dan diskusi. Orang tua membiasakan mendongeng dalam keluarga, dan program TV dari luar tidak ada "dubbing", tetapi teks terjemahan (https://internasional.kompas.com).

Perpustakaan di Finlandia menjadi salah satu wahana ideal untuk menyemaikan dan menumbuh kembangkan budaya baca, sejak anak usia dini. Perpustakaan di Finlandia sebagai institusi budaya yang menjadi kebanggaan orang-orang Finlandia.

Perpustakaan umum yang diperuntukkan untuk umum menyediakan bahan bacaan yang dibutuhkan untuk semua usia, tanpa membedakan jenis kelamin, profesi, agama, warna kulit, bahasa, politik, status sosial. Semuanya mendapatkan pelayanan yang sama tidak ada diskriminasi.

Pustakawan dan petugas adalah lulusan terbaik yang ramah, siap membantu, dan dengan senang hati menjawab pertanyaan para pengunjung perpustakaan. Jumlah buku yang dipinjam di perpustakaan umum tinggi, dan Finlandia menerbitkan buku anak-anak, persediaan buku-buku baru sesuai dengan usia anak.

Di Indonesia, kondisinya memang berbeda, tidaka bermaksud membandingkan, namun Finlandia dapat menjadi referensi yang bagus untuk dapat meningkatkan minat baca. Tidak ada kata terlambat untuk memulai dari generasi yang baru lahir, untuk mengenalkan buku yang menarik (ada suara bila dipegang, dengan warna-warni).

Memang masih terbatas dan harganya lumayan mahal, sehingga kalangan terbatas yang memiliki. Jadi dekatkan dan kenalkan buku sejak dini, jangan memberi mainan handphone untuk menenangkan dari tangisan. Artinya kalau saat ini anak-anak kecil sudah kecanduan games online, pasti ada yang salah dengan orang tuanya, khususnya ibu.

Minat baca itu tidak instan, tetapi berproses dan terus menerus, dimulai dari lingkungan terkecil keluarga, dimana ibu orang pertama dan utama yang mengajari anak sejak dini untuk membacakan buku, bercerita, mendampingi anak nonton televisi. Selain itu memasukan sekolah sesuai usia minimum dan memilihkan sekolah dengan mempunyai lingkungan baik, yang lebih mengutamakan berbagi dan berkolaborasi.

Di sekolah wajib ada perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar bagi peserta didik. Masalahnya, kondisi perpustakaan sekolah di Indonesia menjadi persoalan yang tidak tuntas dan jelas.

Masalah budaya baca di Indonesia yang masih rendah walau sudah merdeka selama 73 tahun, padahal berbagai program dan gerakan dibentuk. Salah satunya Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB), yang bersifat sosial kemasyarakatan, independen dan tidak ada unsur politik.

Tujuannya   membangkitkan semangat dan kemauan masyarakat untuk membaca, meningkatkan peran perpustakaan dan membangun masyarakat Indonesia yang utuh, berbudaya, berbudi pekerti luhur. GPMB berfungsi sebagai wadah kegiatan untuk menggerakkan peningkatan minat baca masyarakat.

Hasilnya berdasarkan data dan survei minat baca di Indonesia masih rendah. Diakui menumbuhkan budaya baca dan menulis perlu proses panjang tidak instan/seketika dapat dirasakan.

Menumbuhkan budaya baca harus ada motivasi (keinginan/niat), minat/kemauan tinggi, lingkungan yang kondusif, dan kebijakan yang mendukung. Padahal budaya "bertutur lisan/mengobrol dan menonton" lebih dominan daripada "membaca dan menulis". Kondisi ini karena ada "loncatan" budaya dari masyarakat agararis ke masyarakat informasi tanpa melalui masyarakat industri seperti yang terjadi di Negara-negara Eropa dan Amerika.

Berbeda di  Jepang, budaya membaca pada era kebangkitan setelah Nagasaki dan Hirosima di bom oleh tentara Sekutu. Keyakinan yang tertanam pada negara-negara maju tersebut, dengan membaca membuka wawasan dan menambah pengetahuan yang dapat merubah dunia,  terbukti benar.

Menurut Suroso dalam pidato pengukuhan gurubesar di UNY (14/3/2018), mengatakan:

"Orang yang memiliki kesenangan dan kemampuan membaca sastra akan memiliki kecerdasan yang lebih atas perilaku manusia, pemahaman tempat, peristiwa, dan persoalan yang dihadapi manusia". Selanjutnya dinyatakan:"minat baca tersebut mengasah rasa kemanusiaan. Dalam bacaan sastra, dia menyebut sumber inspirasi penulisnya dari kehidupan manusia, mengandung nilai religiusitas, nilai humanitas, dan universalitas. Persoalan dikaji di dalamnya seperti sejarah, ketidakadilan, kejujuran, cinta kasih, pengorbanan, lingkungan hidup dan kemakmuran. Terdapat wacana yang kaya di dalamnya sehingga pembaca makin cerdas" (https://www.uny.ac.id).

Budaya baca membuat orang cerdas, sehingga munculnya "tsunami" informasi di media sosial dan media massa, dibaca dengan hati nurani dan pikiran tenang, sehat, untuk memilih, memilah, dan menyaring informasi, apakah asli/sehat atau hoaks (bohong) dan menyesatkan, membingungkan. 

Sebaliknya bila budaya bacanya rendah, informasi di media sosial yang berseliweran itu hanya dibaca sekilas, tanpa dicerna informasi tersebut langsung di copi paste (copas), dikirim ke orang lain atau group whatsapp, facebook, twitter, line. Akibatnya informasi cepat dan mudah "viral", meluas dan berkembang.

Belakangan informasi tersebut ternyata hoaks (bohong), yang dampaknya sangat luas, selain menimbulkan kebingungan, kebencian, permusuhan, namun bisa jadi simpati, empati, dan belas kasihan. Jadi pilih mana menjadi konsumen hoaks atau produsen informasi sehat ?. Orang cerdas pasti memilih menjadi produsen informasi sehat.

 Yogyakarta, 9 Oktober 2018 Pukul 20.31

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun