Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perpustakaan di Era Disrupsi 4.0

19 September 2018   23:02 Diperbarui: 19 September 2018   23:43 2968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketika ada istilah baru, yang masih asing ditelinga, ramai-ramai mencermati, membahas, dalam suatu obrolan, diskusi, pertemuan ilmiah, seminar, lokakarya tentang konsep,  makna, persepsi, dampak, yang dikaitkan dengan kegiatan yang digeluti sehari-hari. 

Topik "disrupsi 4.0" yang sedang "trend", "hit" pasti menarik untuk menjadi bahan diskusi berbayar apalagi gratis. Ditanggung peminat membludak memenuhi ruangan karena penasaran, ingin mengerti apa itu "disrupsi 4.0". Selain ini ada yang gembira, cemas, bingung apa yang dilakukan bila era disrupsi 4.0 benar-benar sudah ada disekeliling kehidupannya. Ada yang menolak mentah-mentah dengan berbagai argumen, menghindar, menjauh, cuek, dan menghadapi dengan tenang tanpa gejolak.

Salah satu yang menjadi "obyek" dari derupsi 4.0 adalah perpustakaan, yang sejak dulu mempunyai "image negatif', sebagai "gudang" dengan segala sebutan yang menempel dan tidak memberikan rasa senang orang yang berkunjung ke perpustakaan. "Brand image" perpustakaan adalah "gudang" berlangsng sampai tahun 1990, karena tahun itu menjadi tonggak masuknya teknologi di perpustakaan. 

Para lulusan dari program ilmu perpustakaan yang tugas belajar di Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Indoenesia yang tersebar di seluruh Indonesia, berusaha keras untuk mengaplikasikan ilmunya. Walau tantangan dari dalam (teman-teman di perpustakaan) dan dari luar (bagian lain dan pimpinan) masih "mencibir" dan memandang sebelah mata. Namun komitmen dan kerja keras para  pustakawan, dapat membuktikan perubahan di perpustakaan dengan terobosan dan inovasi.  

Khususnya perpustakaan perguruan tinggi, diplomasi pustakawan dengan meloby para profesor yang mempunyai perhatian dan komitmen dengan perpustakaan, dapat menjadi mediator antara pustakawan dan pimpinan. 

Waktu itu ada dewan perpustakaan yang diketuai seorang profesor yang disegani. Jamak para pimpinan perguruan tinggi tidak pernah mendenagrkan "apa" yang dikatakan walau konsepnya bagus, namun lebih pada "siapa" yang mengatakan. 

Disinilah peran pustakawan menjadi "pembisik" bagi profesor sebagai mediator dan "penyambung lidah" pengembangan perpustakaan. Tidak banyak pustakawan yang dapat menjadi pembisik profesor karena perlu  "soft skill" dan hard skill, serta wawasan untuk "membaca" lingkungan dengan "wait and see", dan agar cara menyampaikannya tepat dengan waktu dan suasana.

 Perpustakaan dalam menghadapi era disrupsi 4.0 yang secara harfiah digambarkan sebagai suatu sistem yang sudah berjalan aman, nyaman, stabil, dan menyenangkan, semua itu menjadi "tercerabut dari akarnya". Digambarkan seperti tanaman hias yang sedang tumbuh subur, mekar bunganya, enak dipandang mata, tiba-tiba dicabut sampai akar-akarnya terlepas dari tanah. 

Kemudian tanahnya diratakan dibersihkan, dirabuk dan diganti dengan tanaman bunga yang lebih indah, mempesona dan menarik kupu-kupu, lebah lebih banyak, sehingga semakin ramai dan menyenangkan.

Era disrupsi 4.0 ada yang mengatakan perpustakaan sudah tidak ada, dan tidak perlu karena diganti dengan perpustakaan tanpa dinding (library  without walls), perpustakaan tanpa cetak (library without print collections), semuanya berbentuk digital. Perpustakaan menghadapi kompetitor yang tidak kelihatan yang dapat menimbulkan "paranoid". 

Menurut Rhenald Kasali, era disrupsi 4,0 adalah:"era yang menakutkan dan penuh dengan persaingan ketat, bagi yang tidak siap pasti "tersinggir dan minggir" secara alamiah dari percaturan dan menjadi penonton".

Istilah disruption pertama kali dipopulerkan oleh Clayton Christensen dengan teori "Disruptive Innovation" (1990) dan Michael Porter dalam teori "Competitive Strategy" (1980), keduanya profesor Harvard Business School. 

Intinya dunia bisnis penuh dengan aura persaingan sangat ketat. Namun 2005 W Chan Kim dan Renee Mauborgne profesor dari INSEAD (European Institute of Administration) dalam bukunya "Blue Ocean Shift", sukses besar tanpa melakukan "disruptive innovation", tetapi "beyond-disruption".

Diakui pada era disrupsi 4.0 di perpustakaan telah, akan dan terus terjadi perubahan yang signifikan, seperti gedung, ruangan, koleksi, sarana prasarana, fasilitas, manajeman, pelayanan berbasis TIK yang prima, SDM kompeten. 

Semuanya itu untuk memberikan pelayanan yang berorientasi pada kebutuhan pemustaka, bukan kebutuhan pustakawan. Perpustakaan tetap ada lebih eksis dengan  wajah yang berbeda, suasana seperti mall, ramai (walau masih ada tempat khusus senyap/silent, lampu terang, udara sejuk, bersih, colokan hp, laptop, fasilitas lengkap (canggih dan modern), pelayanan ramah menyenangkan seperti di hotel bintang 5. 

Buka 24 jam, sehingga dapat memberikan kepuasan bagi para pemustaka yang berkunjung ke perpustakaan untuk mencari informasi ataupun sekedar diskusi dan bertemu dengan para kolega.  

Semuanya ini yang mejadi motor penggeraknya adalah pustakawan yang inovatif, kreatif, lincah, profesional dalam mengelola dan memberi pelayanan kepada pemustaka. Percayalah kalau pustakawannya aktif, kreatif bekerja dengan landasan ibadah dan hati nurani, ikhlas tanpa mengharapkan imbalan nilai rupiah. 

Mengingat pustakawan sudah mendapat gaji, tunjangan pustakawan, tukin semua itu akan berdampak pada "pengakuan" dan "kepercayaan" dari pimpinan, dan pemustaka. lingkungan kerja. 

Perjuangan itu masih panjang, jangan pernah patah semangat para pustakawan di seluruh Indonesia. Hadapi tantangan era disrupsi 4.0 di perpustakaan dengan ilmu yang dimiliki dan membaca pengetahuan, sehingga dapat cepat menyesuaikan perubahan dan loncatan yang semakin tidak terprediksi.

Yogyakarta, 19 September 2018 Pukul 22.53

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun