Perpustakaan perguruan tinggi ibarat "jantung perguruan tinggi", itu yang sering terdengar tatkala para pemimpin menyampaikan pidato sambutannya dengan penuh semangat.Â
Kemudian menceriterakan kehebatan perpustakaan perguruan tinggi di luar negeri ketika menempuh pendidikan doktor, seperti rumah kedua karena waktunya hampir dihabiskan di perpustakaan. Setelah  pulang ke Indonesia, menemukan kondisi perpustakaan dan pustakawannya sangat jauh berbeda, sehingga tidak pernah lagi ke perpustakaan.
Bahkan ketika asesor dari luar negeri akan "visit" ke perpustakaan Fakultas dialihkan rutenya, karena "malu" dengan kondisi perpustakaan seperti"gudang", rak-rak kayu jati  kuno, buku cetak yang halamannya sudah kuning, komputer sering ngadat. Hal ini karena komitmen dan perhatian pimpinan untuk perpustakaan sangat kurang, hanya dibutuhkan ketika ada akreditasi nasional dan internasional.Â
Setelah itu ditinggalkan lagi, dan pustakawan beserta staf lainnya antara "ada dan tiada", diremehkan, apalagi dipikirkan pengembangan kariernya. Untuk sekedar mengikuti seminar pun harus mengajukan proposal lengkap dengan argumen hubungan seminar dengan manfaat untuk institusi.
Sementara di luar negeri semua orang sangat memperhatikan perpustakaan dan menghargai profesi pustakawan sebagai mitra kerja sejajar yang sangat berperan dalam memberikan informasi.Â
Dalam penelitian, Â pustaka materi mengajar, mendeteksi karya tulis termasuk plagiat atau tidak, menelusur artikel di jurnal ilmiah yang terindeks Scopus, kuliah metodologi, bimbingan untuk mahasiswa baru, pustakawan selalu dilibatkan. Bahkan "tandem" Â melakukan penelitian, karena pustakawan mempunyai ilmu untuk menelusur dan menemukan informasi terbaru yang dibutuhkan oleh dosen.Â
Hal biasa ketika seorang profesor di perpustakaan untuk mengerjakan laporan penelitian, membimbing mahasiswa dan diskusi denga para koleganya. Tidak ada "gab" yang memisahkan antara profesor dengan pustakawan, masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda untuk mencapai tujuan sebagai fakultas/universitas bertaraf internasional yang berbasis riset.
Sedang di dalam negeri pustakawan "seakan" menjadi bawahan profesor yang disuruh-suruh untuk melakukan pekerjaan di luar tupoksi pustakawan. Â Di perguruan tinggi, sivitas akademika adalah dosen dan mahasiswa, sedang tenaga kependidikan (tendik) sebagai tenaga penunjang untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi antara lain pustakawan, tenaga administrasi, laboran dan teknisi, serta pranata teknik informasi.Â
Diakui dosen mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat), secara tupoksi pun juga tidak sama dengan tendik. Namun bukan berarti dosen sebagai warga kampus eksklusif (first class), dan tendik itu sebagai warga kelas dua (second class).
Akibat ada "anggapan" tendik sebagai warga kelas dua, berdampak pada pengembangan kariernya, padahal tuntutan untuk kenaikan jabatan/pangkat sama harus mengumpulkan angka kredit yang nilainya sama persis dengan dosen. Walaupun tingkat kesulitan dalam mengumplkan angka kredit berbeda, namun dampaknya dirasakan.Â
Dosen mendapat prioritas dan fasilitas untuk menghadiri seminar, lokakarya, temu ilmiah, presentasi "call for paper" di dalam dan di luar negeri. Bahkan untuk pengurusan profesor, tendik kepegawaian ditugaskan khusus ke Jakarta agar segera turun SK Presiden, mengingat waktu pensiun sudah semakin mendekat. Tidak heran ketika pidato pengukuhan beberapa hari "pensiun".