Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika "Korupsi" sebagai "Kebiasaan", Apa yang Terjadi?

11 September 2018   11:33 Diperbarui: 13 September 2018   09:06 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalaupun sudah mempunyai nilai-nilai kejujuran, prinsip hidup baik dan benar yang sudah diajarkan sejak dini, bisa jadi pertahanan itu "jebol" karena lingkungan, sistem, budaya yang begitu menggoda. Belum lagi model "abu-abu", dalam pertanggungjawaban, dan "nyinyiran" lingkungan yang mengatakan "sok suci, sok baik, sok jujur". 

Namun apapun "nyinyiran" orang bila prinsip kejujuran sudah menjadi pegangan hidupnya, maka  uang yang "bersliweran" harus dipertanggungjawabkan dan/atau dikembalikan kepada yang berwenang karena bukan haknya.

Kalau lingkungan dengan "arus/godaan" sangat kuat untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan hati nurani, terjadilah perang batin sendiri, jalan terbaik "resign", mengundurkan diri, pindah, hijrah ke lingkungan yang baik, atau pensiun dini bagi PNS. Masalahnya yang sering terjadi pelaku korupsi itu tidak sadar diri bahwa tindakan memperkaya diri itu dapat merugikan orang lain, negara, dan melanggar hak-hak sosial dan ekonomi secara luas. 

Bagaimana mungkin dalam suatu pemerintahan fungsi legislatif di tingkat daerah (DPRD), mengalami "shutdown", karena tersandung korupsi berjamah oleh para anggota dewan. Sungguh sangat ironis di negara yang menganut demokrasi dimana kekuasan ada di tangan rakyat, ternyata keterwakilannya di dewan terhormat telah dicederai dengan tindakan korupsi.

Selain itu masih ada "keberanian" para eks koruptor itu mencalonkan diri sebagai caleg. Apapun alasannya, dan bagaimanapun penafsiran suatu aturan tentang eks koruptor yang mendaftar sebagai caleg dalam pemilu 2019, sangat tergantung pada "hati nurani", batiniah dan kejujuran untuk menjawab pertanyaan:"masih layak dan pantaskah sebagai calon legislatif yang terhormat dan mewakili suara rakyat ?". 

Andaikan jawabannya masih layak dan pantas, berarti "budaya malu" itu sudah tidak ada. Namun bila jawabannya sudah tidak pantas dan tidak layak karena "malu' telah memperkaya diri, mengingkari janji saat kampanye, dan meninggalkan rakyat yang telah memilih, maka rasa malu itu masih dimiliki.

Yogyakarta, 11 September 2018 Pukul 11.28

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun