Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menjalani Profesi Pustakawan Harus Menulis

7 September 2018   10:41 Diperbarui: 9 September 2018   05:26 2083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay.com)

Artinya jabatan fungsional pustakawan mempunyai konsekwensi  selain mendapat tunjangan harus mengumpulkan angka kredit yang besarnya persis seperti guru, dosen, dokter, peneliti, dan jabatan fungsional lainnya. Kalau hanya mengandalkan nilai dari pengelolaan dan layanan perpustakaan sangat kecil (0,001), terbesar 12,5 menulis buku. 

Bisa dibayangkan bagaimana pustakawan dapat naik pangkat tepat waktu (setiap 2 tahun), kalau nilainya sangat kecil. Anehnya lagi kalau ada pustakawan yang aktif menulis, sering menang lomba karya tulis, hibah penelitian, bukannya mendapat apresiasi, malah di"nyinyiri" oleh lingkungannya (pustakawan plus teman lainnya), kalau menulis terus kapan kerjanya ?. Aneh bukan profesi pustakawan itu rintangan dan tantangannya sangat tidak profesional, namun lebih subyektif ?.

Tidak heran kalau sampai saat ini jumlah pustakawan utama masih sangat sedikit (14 orang) seluruh Indonesia. Apalagi untuk pustakawan utama di Perguruan Tinggi tidak ada kelas jabatan pustakawan utama, maksimum hanya pustakawan madya (Permenrintek dan Dikti No.49 Tahun 2015). 

Jadi bagaimanapun semangatnya pustakawan di lingkungan Perguruan Tinggi harus puas dengan jabatan  pustakawan madya dan pensiun usia 60 tahun. Kecuali bersedia loncat di departemen yang mempunyai formasi pustakawan utama.

Walau ada peluang demikian pelaksanaannya tidak semudah membalik tangan, sering pihak Perguruan Tinggi tidak memberi "lolos butuh" untuk pindah ke instansi yang ada formasi pustakawan utama. Jadi sekarang dimana menariknya menjalani profesi sebagai pustakawan?.

Hanya orang-orang yang aneh penuh idealisme untuk tetap menjalani profesi pustakawan, walau sering "dipersekusi" oleh bagian kepegawaian yang iri karena tunjangan kinerja yang didapat pustakawan lebih besar dari kepegawaian yang menduduki jabatan umum.

Selain itu ternyata tidak semua pustakawan mempunyai kemauan, kemampuan dan kesempatan menulis, akibatnya sudah menyerah tidak mempunyai semangat untuk menuju ke pustakawan utama (bagi yang ada formasi). 

Hal ini juga dibuktikan ketika ada kompetisi karya tulis termasuk hibah penelitan yang diadakan oleh Perpustakaan RI setiap tahun, pesertanya tidak pernah beranjak, selalu dibawah 100 orang. Tahun ini ada  peserta 63 orang, padahal  jumlah pustakawan di Indonesia ada 3.381 orang (data Perpusnas RI, 2018). 

Artinya hanya 1,86 persen yang berpartisipasi mengikuti lomba hibah penelitian ini, apapun alasannya dan kesibukannya perlu ada pustakawan peneliti, kenyataannya masih sangat langka yang berminat. Lebih sering pustakawan yang menghadiri seminar, konggres, munas di berbagai kota bahkan luar negeri, setelahnya ilmu yang didapat "menguap" seiring dengan perjalanan pulang kembali ke habitat kerjanya.    

Yogyakarta, 7 September 2018 Pukul 10.34

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun