Pustakawan sebagai profesi baru diakui oleh pemerintah secara sah pada tahun 1988 saat dikeluarkannya Keputusan Menpan No.18 Tahun 1988 tentang Jabatan Fungsional dan Angka Kreditnya. Sejak saat itu pustakawan (PNS) mendapat tunjangan fungsional pustakawan, sedang yang non PNS sampai saat ini masih berjuang karena belum mendapat tunjangan fungsonal seperti  PNS, karena tergantung dari kemampuan keuangan lembaga swasta. Bisa jadi lebih tinggi dari ketentuan kalau lembaga swasta bonafit, atau dibawahnya, bahkan tidak mendapatkannya karena kondisi keuangan yang belum memungkinkan.
Menurut Perpres No.71 Tahun 2013 besarnya antara Rp 350.000,- (pustakawan pelaksana/II b) sampai Rp 1.300.000,- (pustakawan utama/IVe). Untuk bisa kenaikan jabatan/pangkat harus mengumpulkan angka kredit, seperti jabatan fungsional lainnya (dosen, peneliti, dokter, guru, dll).Â
Untuk jabatan fungsional pustakawan bila dalam waktu 5 (lima) tahun tidak bisa mengumpulkan angka kredit yang sudah ditentukan, maka diberhentikan sementara. Bila 6 (enam) tahun tidak memenuhi angka kreditnya untuk naik jabatan/pangkat, maka diberhentikan tetap, dan tidak bisa diangkat lagi menjadi pustakawan. Artinya pustakawan tersebut "dianggap" tidak mempunyai kompetensi profesional, dan personal, sehingga "terpaksa" dikeluarkan sebagai pustakawan, menjadi pegawai biasa dengan mendapat tunjangan umum.
Diakui, profesi pustakawan sebelum ada Kepmenpan No.18 Tahun 1988, sebagai profesi yang  tidak dikenal dan bukan profesi pilihan karena tidak membanggakan dari segi finansial maupun penampilan. Namun seiring dengan banyaknya perguruan tinggi yang membuka jurusan ilmu perpustakaan dan informasi, para lulusan SMA mulai melirik, walaupun masuknya "terpaksa" karena di jurusan pilihan pertama tidak diterima (berdasarkan realita di lapangan).Â
Menjalani profesi pustakawan sebagai pilihan, berarti  sudah memahami resikonya bila tidak bisa memenuhi syarat dan ketentuan diberhentikan dari profesi pustakawan. Jadi kalaupun mempunyai ijazah ilmu perpustakaan, tidak memilih profesi pustakawan, karena lebih tertarik pada jabatan struktural, itu adalah hak prerogatifnya. Namun secara "moralitas" ilmunya kurang memberi manfaat untuk perkembangan perpustakaan.
Kalaupun sudah memilih profesi pustakawan, harus siap dengan semua konsekwensinya tidak hanya yang positif, tetapi juga negatif. Konsekwensi positif, bagi PNS selain mendapat gaji ada tunjangan fungsional.Â
Namun konsekwensi negatifnya  harus memberikan pelayanan prima berbasis teknologi informasi dan komunikasi kepada pemustaka. Apalagi yang dilayani generasi milenial tuntutannya semakin kompleks dan beragam, suka tidak suka, harus mendengarkan "suara" pemustaka karena mempunyai posisi tawar yang tinggi. Ketika tidak mendapat pelayanan yang baik dapat melakukan protes, memberi masukan dan kritikan, langsung ke pimpinan dengan kotak pengaduan yang disediakan di website intansi. Â
Dalam menghadapi pengaduan dari pemustaka, pustakawan perlu mempunyai keberanian untuk menjawab, menjelaskan dengan jujur, sopan santun, tidak perlu emosi tetapi dengan hati dan perhatian. Pustakawan dalam memberikan pelayanan perlu percaya diri, bukan rendah diri untuk mencoba mengajukan proposal pengembangan perpustakaan kepada pimpinan.Â
Percaya diri bahwa ilmunya yang dimiliki dapat dieksplorasi dengan maksimal untuk kepentingan pemustaka. Hal ini berdampak perpustakaan tetap di hati pemustaka, sebagai rumah keduanya walaupun sudah ada internet untuk melakukan penelusuran informasi.Â
Bukan berarti internet sebagai kompetitor perpustakaan, justru internet harus masuk di perpustakaan. Percayalah menelusur secara langsung di rak buku dengan bau buku yang khas tetap mempunyai rasa sansasional tersendiri yang tiada bandingannya.
Kalau pustakawan sudah mempunyai kepercayaan dari pemustaka, informasi apapun yang disajikan di perpustakaan tetap menarik untuk dikunjungi pemustaka. Rasa percaya diri menjadi modal utama yang wajib dimiliki oleh setiap pustakawan. Kalau saat ini profesi pustakawan belum dikenal oleh awam, karena pustakawan lebih senang ada dibelakang layar, kurang percaya diri untuk tampil di depan/diatas panggung.Â