Kalau mendengar istilah perpustakaan saat ini, dalam benak terbayang suasana yang sangat menyenangkan dengan tata letak dan peralatan serba modern dan canggih, serta pelayanan para pustakawan yang menyenangkan, ramah, dan sopan. Pelayanan berbasis teknologi informasi dan komunikasi, sudah menjadi pemandangan yang biasa di berbagai perpustakaan di Indonesia.
Para pustakawan yang telah mempunyai kompetensi ilmu perpustakaan dan informasi menjadi ujung tombak yang dapat merubah "image" perpustakaan dari negatif menjadi positif. Tentu ada stakeholder yang mempunyai komitmen untuk pengembangan perpustakaan, selain pustakawan yang inovatif, kreatif dan profesional.
Kalaupun masih ada perpustakaan yang kondisinya memprihatinkan, ada banyak  permasalahan karena setiap perpustakaan kondisinya berbeda, sehingga pustakawan wajib mengidentifikasinya dan memberikan usulan solusinya. Pustakawan mempunyai kewenangan untuk mengelola perpustakaan sesuai dengan visi dan misi lembaga induknya, sehingga mempunyai konsep pengembangan.
Terlepas dari disetujui atau tidaknya konsep pengembangain perpustakaan oleh pimpinan tertinggi yang membahawai perpustakaan, itu masalah lain. Pastinya pustakawan sudah mempunyai konsep dan ide untuk pengembangan perpustakaan.
Masalah pengelolaan perpustakaan semakin kompleks bila pustakawan sendiri tidak mempunyai konsep pengembangan, atau pun ada, tetapi tidak masuk akal dan nalar serta tidak sesuai dengan lingkungan yang dilayani.
Apalagi pustakawan hanya berorientasi untuk kepentingan sendiri demi mendapatkan tambahan "nilai rupiah", bukan untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan. Di sinilah pustakawan perlu mempunyai soft skill untuk menyakinkan pimpinan dengan jujur, apa adanya, tidak memberi laporan palsu, sekadar untuk mendapatkan "pengakuan" pimpinan.
Terlepas dari soal pustakawan dan perpustakaan, apapun kondisinya perpustakaan itu menjadi tempat yang aman, nyaman, dan menyenangkan untuk para pemustaka (orang yang memanfaatkan perpustakaan).
Berbeda di Indonesia dengan di luar negeri, perpustakaan menjadi rumah kedua, sehingga dapat memberi inspirasi dan tempat ideal untuk menemukan "potensi diri" seseorang, sehingga mempunyai nilai tambah bagi kehidupannya. Perpustakaan sebagai wahana yang ideal untuk kegiatan literasi, karena di perpustakaan itu sebagai "gudang ilmu pengetahuan", bukan gudang buku yang teronggok dibiarkan berdebu. Â
Para penulis kesohor di berbagai belahan dunia, untuk mencari inspirasi sebagai materi tulisan, salah satunya menyempatkan mengunjungi perpustakaan. Di Indonesia sudah mempunyai Perpustakaan Nasional RI, yang megah, modern, menyenangkan di jalan Medan Merdeka Selatan No.11 Jakarta Pusat, diklaim sebagai perpustakaan tertinggi di dunia, karena memiliki 27 lantai.
Perpustakaan Nasional ini bersifat umum, jadi siapapun mempunyai hak yang sama untuk memanfaatkannya, pegawai, mahasiswa, anak-anak, ibu rumah tangga, pensiunan, pelajar, tanpa membedakan kelas sosial, asal-usul, bahasa, agama, semua mendapat pelayanan yang sama. Untuk menjadi anggota pun gratis tanpa dipungut biaya, datang, daftar, difoto dan mendapat kartu anggota.
Kalau ke Jakarta, rugi besar bila tidak menyempatkan datang di Perpustakaan Nasional RI baik yang di Medan Merdeka Selatan No.11 maupun di Salemba Raya No, 28 A Jakarta Pusat. Bahkan pinjam buku sudah online tidak perlu datang ke Perpustakaan Nasional, tinggal di cek di website www.pnri.go.id.
Bukan hanya menyediakan ruang baca di lantai 21 untuk umum, segala usia dengan ruangan yang bersih, terang, sejuk, dan pelayanan menyenangkan. Selain itu di laintai 24 ada spot pemandangan Monumen Nasional (Monas), dan Jakarta Pusat dari atas.
Intinya datang ke Perpustakaan Nasional tidak ada ruginya. Bukan hanya untuk selfi, namun ada ilmu pengetahuan yang dapat digali untuk memberi manfaat bagi kehidupan.
Perpustakaan selain menyediakan referensi yang diperlukan untuk bahan menulis, juga menjadi tempat ideal untuk menulis skripsi, tugas kuliah, buku, dan kompasiana. Namun ironis, para pustakawan, karena terlalu sibuk memberi pelayanan di perpustakaan, tidak mempunyai waktu untuk menulis. Padahal di tempat kerjanya itu menjadi "surga" untuk menulis yang menyediakan berbagai bahan refensi.
Padahal pustakawan juga dituntut untuk menulis, minimal membuat karya tulis untuk dinilaikan kepada tim penilai angka kredit bila akan naik jabatan/pangkat. Jadi pustakawan seperti peribahasa: "bagaikan ayam mati di lumbung padi", artinya mempunyai kesempatan, tetapi tidak mengetahui potensi diri yaitu menulis.
Seorang penulis novel selevel Hanum Salsabila Rais, penulis buku-buku best seller  "99 Cahaya di Langit Eropa", "Bulan Terbelah di Langit Amerika", "I am Sarahza", terispirasi untuk menulisnya setelah diajak suaminya ke perpustakaan ketika di Eropa tugas belajar.
Waktu luangnya mendampingi suami tugas belajar dimanfaatkan untuk menghasilkan karya besar yang diangkat dalam film layar lebar. Semua itu berawal dari perpustakaan, jadi ada peran perpustakaan untuk menjadikan seseorang menjadi besar.
Diakui atau tidak perpustakaan dan pustakawan, ada andil walaupun sebesar biji zarah. Jadi jangan biarkan waktu luang hilang begitu saja, kalau belum pernah ke perpustakaan, coba luangkan waktu sebentar saja, menggali apa yang ada di perpustakaan.
Tingkat literasi di Indonesia, hanya dapat meningkat sangat tergantung pada setiap individu untuk membuat "resolusi dan revolusi". Perlu kebulatan tekad, dan daya juang tinggi untu mewujudkannya, tidak ada proses yang mengkhianati hasil. Percayalah, dan bersabarlah !
Yogyakarta, 16 Agustus 2018 Pukul 11.34
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H