Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Menabuh Gamelan Mengasyikkan, Perlu "Olah Rasa"

8 Agustus 2018   22:11 Diperbarui: 9 Agustus 2018   13:27 1336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca tulisan di Kompasiana berjudul Menyambut "Pulang Kampunngnya" Gamelan dari Empat Benua oleh Gentur Adiutama, mengingatkan alunan musik gamelan yang mengasyikkan. Inti tulisan pak Gentur tentang akan diselenggarakan Festival Gamelan Internasional 2018 di Solo Jawa Tengah pada tanggal 9 sampai 15 Agustus 2018. 

Dikatakan sebagai Festival Internasional karena peserta selain dari Indonesia (Yogyakarta dan Solo), juga dari negara-negara di empat (4) benua yaitu Asia, Eropa, Australia, Amerika. Istilah pulang kampung yang dipakai oleh penulis mengindikasikan bahwa gamelan sebagai musik tradisional yang mengandung nilai-nilai luhur budaya, dan syarat dengan filosofi hidup bangsa Indonesia, telah "mendunia". Artinya musik gamerlan telah melintas batas negara, digandrungi oleh warga negara asing (WNA) yang sangat tertarik dan "concern/peduli"  untuk mempelajari.

Namun disisi lain meningkatnya warga negara asing yang peduli dan mempelajari musik gamelan ini, generasi milenial di Indonesia  "menganggap" musik gamelan sebagai musik yang "jadul", ketinggalan zaman, kuno, tradisional, tidak cocok dengan generasi "now". Buktinya minat mahasiswa baru masuk program studi  karawitan di Institut Seni Indonesia, sangat  sedikit dibandingkan dengan program studi yang "dianggap" favorit di institut dan universitas. 

Artinya program studi karawitan termasuk "sepi peminat", karena dianggap sebagai program studi yang tidak menjanjikan pekerjaan dan materi setelah lulus. Padahal kalau melihat perkembangan peminat karawitan di luar negeri ada peluang besar untuk menjadi tenaga pengajarnya.

Kejadian aneh, lucu dan sungguh-sungguh terjadi (berdasarkan cerita seorang profesor dari universitas ternama di Yogyakarta), yang sedang di Australia diminta memainkan musik gamelan oleh orang Australia, ternyata tidak bisa karena tidak pernah tertarik dengan gamelan. Masih beruntung karena profesor tersebut mempunyai "rasa malu" tidak bisa memainkan musik gamelan. 

Untuk  menebus rasa malu  ketika pulang di Indonesia membeli seperangkat gamelan dan mengundang guru karawitan (anak seorang dalang yang secara otodidak menguasai musik gamelan). Guru les karawitan tersebut menularkan ilmu karawitan kepada profesor bersama dengan tetangganya  yang mempunyai minat dengan karawitan untuk latihan secara rutin. 

Jadilah group karawitan, yang sering pentas mengiringi  wayang orang cilik (pemain generasi milenial). "Virus" kepedulian dan minat dengan karawitan ini terus berkembang di lingkungan kerja dari Profesor tersebut.

Sejatinya musik gamelan yang terdiri dari kendang, bonang, bonang penerus, demung, saron, peking, kenong, ketuk, slentem, gambang, bila dimainkan secara bersamaan dapat menimbulkan irama yang sesuai dengan situasi dan kondisi (semangat, sedih, gembira). Untuk menabuh gamelan ternyata tidak asal memukulkan di lempengan tembaga atau kuningan dengan pemukul, namun dengan "olah rasa". 

Baik irama slendro maupun pelog bila ditabuh dengan penuh perasaan dan olah rasa, menghasilkan irama yang enak didengar dan dinikmati. Disinilah musik gamelan itu memunculkan "aura positif", yang mengandung filosofi bahwa masing-masing jenis gamelan itu mempunyai suara yang berbeda bila dipukul  sesuai dengan not yang tepat, menghasilkan irama yang enak didengarkan telinga dan menarik perhatian.

Sungguh gamelan menjadi harmoni musik tradisional, sebagai warisan budaya yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan kepada generasi milenial. Saat ini di sekolah-sekolah di Jawa Tengah mempunyai seperangkat gamelan sebagai kegiatan ekstra kulikuler. 

Demikian juga di perguruan tinggi ada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), sebagai kegiatan untuk melatih mahasiswa agar tidak hanya terasah secara akademik, tetapi juga olah rasa dengan memainkan musik gamelan. 

Ketika ada yang salah memukul, guru les langsung dapat mengetahui siapa yang salah, sehingga perlu diulang lagi. Begitulah latihan menabuh gamelan itu menyenangkan, saat pak guru les menegur yang salah pun penuh canda tawa, sehingga  terjalin kekompakan dan solidaritas sesama penabuh gamelan.

Penulis waktu mahasiswa mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Karawitan yang latihan seminggu sekali. Belum pernah pentas, namun setiap mendengar irama gamelan tangan ini rasanya ingin bergerak, seakan menabuh tembaga yang mempunyai suara khas. Setelah lama vakum tidak pernah latihan, dapat menemukan komunitas karawitan di tempat kerja tahun 2015. 

Pernah pentas untuk acara wisuda di Fakultas, di Universitas dan mengiringi ketoprak humor, dengan pemain para pejabat  Fakultas. Sangat bangga dapat menjadi bagian dari komunitas karawitan di tempat kerja. Walaupun kalau mau pentas, harus latihan sampai larut malam. Inikah yang namanya senang, tanpa mendapat bayaranpun dijalani dengan penuh semangat. Sayang, saat ini vakum lagi dari komunitas karawitan, karena juga "olah rasa", dari suasana yang tidak nyaman.

Yogyakarta, 8 Agustus 2018 Pukul 21.43

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun