Ditutup dengan jaring hitam sepanjang 730 m, dengan diberi larutan kimia sebagai upaya untuk menyambut tamu-tamu negara. Alangkah baiknya kalau ini terus diupayakan terjaga sepanjang waktu, ada atau tidak ada tamu asing. Bukan saja lingkungan yang asri, tidak berbau, dapat dinikmati selama berlangsungnya Asian Games, tetapi sepanjang waktu.
Setiap Pemerintah Daerah semestinya sudah mempunyai payung hukum dengan Peraturan Daerah tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota tentang Pedagang Kaki Lima.Â
Artinya ketika petugas trantib menertibkan itu ada dasar hukumnya, karena keberadaan PKL yang menganggu lingkungan (sosial, kesehatan, ketertiban). Secara  sosial, ada gesekan kepentingan antara petugas trantib yang menjalankan tugas untuk menertibkan, dari sisi PKL "terpaksa" berjualan di trotoar untuk mencari sesuap nasi, demi menghidupi keluarga.
Dari segi kesehatan (limbah sisa-sisa makanan, dan air bekas cucian piring, gelas, sendok), menyebabkan genangan air comberan di selokan yang menimbulkan bau tidak sedap. Air cucian yang tidak mengalir dari kran berpotensi dapat menganggu kesehatan.Â
Selain itu makanan yang tidak ditutup dapat tercemar oleh asap knalpot, lalat yang beterbangan. Kemudian ketertiban lalu lintas (parkir kendaraan konsumen) menyita ruang jalan menimbulkan kemacetan lalu lintas.
walaupun diakui sebagai penggerak ekonomi kerakyatan. Untuk mencari "jalan tengah" boleh berjualan di relokasi pada tempat yang sudah ditentukan. Masalah muncul, PKL merugi karena lokasinya tidak strategis, sepi pembeli.Â
Menertibkan PKL memang tidak sekedar "hangat-hangat tahi ayam", namun perlu secara komprehensif, berkelanjutan, dan sinergi dengan berbagai instansi untuk di relokasi kemana, bagaimana dampaknya. Bagaimanapun sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk hidup dengan layak.
Yogyakarta, 31 Juli 2018 Pukul 16.25 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H