Dalam dunia kerja baik di lembaga pemerintah maupun swasta, setiap pegawai mengalami masa-masa perekrutan, orientasi, menjalani karier dengan meniti mulai dari level paling bawah sesuai dengan ijazah yang dimiliki, menaiki tangga demi tangga pangkat/jabatan sampai masa purna tugas. PNS awalnya pensiun usia 56 tahun, ABRI dan Polri 48 tahun, kemudian berdasarkan UU ASN No.5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 90, pensiunnya menjadi 58 tahun bagi staf, dan 60 tahun bagi pimpinan, serta 60 tahun untuk yang mempunyai jabatan fungsional madya, dan 65 tahun bagi fungsional utama.
PNS/ASN di awal karier sebagai staf biasa, setelah mempunyai masa kerja dan kinerja yang dinilai baik oleh atasan dipromosikan menjadi pimpinan mulai dari level yang paling rendah di jabatan struktural sebagai eselon IV. Seiring dengan masa kerja, pengalaman terus naik sampai menduduki jabatan menengah dan puncak. Namun yang terjadi seorang yang memiliki kekuasan mulai "berulah", dengan mengatas namakan "kekuasaan" hilanglah sifat humanis, tenggang rasa, perikemanusiaan, mengatas namakan penegakan disiplin, tetapi sangat subyektif.
Disiplin, kerja keras, kerja tuntas, inovatif, kreatif, tanggung jawab, amanah, jujur, menjalin kerjasama, tidak diskriminasi, tidak KKN, tegas, bijaksana ini selayaknya dimiliki oleh setiap PNS, apapun jabatannya (pimpinan dan bawahan). Menjadi tidak wajar bila pimpinan "merasa" sok kuasa, sok tahu, arogan, like and dislike, tidak suka bila ada bawahan yang melebihi dalam segala hal (harta, kesuksesan keluarga, prestasi, jaringan luas, pangkat, gaji dan tunjangan).Â
Pimpinan model ini berarti "sakit" secara psikis, walau secara lahiriah lincah, pandai berargumen dengan atasan lebih tinggi yang ujung-ujungnya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi, keluarga dan kroninya.
Pimpinan yang "sakit" psikis biasanya gila kerja (workaholic), gila hormat, gila sanjungan, gila dipuji, gila kekuasan, licik (bukan cerdik), demi untuk mendapatkan "pengakuan", agar disegani oleh bawahan. Keberanian dan ketegasan memberi hukuman disiplin tanpa melalui peringatan dan pembinaan, menjadi sisi positif sekedar untuk "mengelabuhi" pimpinan puncak agar terus memberi kepercayaan.Â
Selain itu untuk menutupi niat jahatnya menjatuhkan/membersihkan orang-orang disekitarnya yang menghalangi sepak terjangnya, karena ulahnya menjadikan suasana kerja tidak nyaman dan tidak tenang.
Melakukan politik "devide et impera", secara gerilya dalam suatu lingkungan kerja. Bagi yang melawan tanpa kompromi langsung dipindahkan atas nama kekuasaan. Sungguh tidak nyaman mendapatkan pimpinan yang "adigang, adigung, adiguna", artinya mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian yang dimiliki. Model pimpinan begini biasanya tidak bersikap adil dan bijaksanan dalam menghadapi bawahan, pilih kasih, dan tidak ramah, "tega" mem"binasakan", menyakiti hati dan medolimi bawahan. Tidak ingat kalau doa orang yang didolimi langsung dikabulkan oleh Alloh SWT. Menebar kebencian dan permusuhan dalam berbagai rapat koordinasi yang tidak ada relevansinya.
Kalau ada bawahan yang sudah mempunyai catatan disiplin tidak baik menurut ukurannya, sampai pensiun pun di cap "jelek", dan dipindahkan sesukanya karena berkuasa. Sebaliknya bawahan yang suka "menjilat" memberi laporan palsu, tidak jujur, tidak amanah justru dicap baik menurutnya, diberi kepercayaan dan dipromosikan.Â
Inilah yang tidak pernah disadari bahwa perbuatannya itu tidak adgil, tidak obyektif, tetapi sangat subyektif tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, karena ditafsirkan sesuai dengan kepentingannya. Tidak ada orang yang berani melawan karena kuasa dan pengaruhnya ditakuti bawahan. Bila ada bawahan yang berani melawan di cap "berani melawan institusi ".Â
Model pimpinan yang gila kekuasaan, tidak senang ada bawahan berprestasi, senang disanjung orang lain, suka mengatur, gila jabatan, menuntut keputusannya dituruti, suka dilayani, butuh pengakuan dengan jabatannya, bila pensiun gelisah, khawatir, takut, dan rentan dengan "post power syndrome". Intinya pimpinan model ini sejatinya tidak "legowo" untuk melepaskan jabatannya, tidak melihat realita usia yang terus bertambah dan sampai pada titik untuk berhenti dengan hormat alias pensiun.
Masa purna tugas atau pensiun sebenarnya bukan hal yang perlu ditakuti, apalagi sampai stres karena nilai dari struk gaji "terjun bebas", sebesar 75 persen dari gaji pokok, semua tunjangan dan fasilitas hilang. Kalau tidak mensyukuri dan menikmati keindahan pensiun, justru menjadi bencana, berbagai penyakit muncul, akhirnya "stroke". Menderita sindrom pasca kekuasaan sering diderita oleh PNS karena secara mental tidak siap pensiun, walaupun ada hak untuk mengambil Masa Persiapan Pensiun (MPP) satu (1) tahun sebelum Terhitung Mulai Tanggal  (TMT) pensiun.
MPP sebenarnya sebagai masa untuk mempersiapkan diri setelah benar-benar pensiun, kegiatan positif seperti apa yang dapat dilakukan. Ketika menjadi pimpinan piawi mengatur bawahan dengan perencanaan, program, sasaran, target, anehnya ketika pensiun tidak bisa mengatur dirinya sendiri.Â
Akibatnya menderita "Post Power Syndrome", sangat menderita  dan merepotkan keluarganya, hidupnya dibayang-bayangi masa kejayaan, kehebatan saat berkuasa. Tidak mempunyai bawahan, hilang fasilitas, tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan, dan yang menyakitkan mantan anak buah sudah melupakan karena ketika berkuasa bersikap sewenang-wenang. Jadi pensiunnya pimpinan model ini menjadi anugerah bagi para  bawahannya, "terbebas" dari rasa tidak nyaman. Sementara mantan pimpinan yang sudah kehilangan "gigi taring" dan "tanduk", dalam kesunyian berkepanjangan.  Padahal pensiun adalah masa terindah yang perlu disyukuri dan dinikmati.
 Yogyakarta, 21 Juli 2018 Pukul 12.09  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H