Hari Senin tanggal 26 Februari 2018 ada WA masuk yang berisi gambar mobil bersama dua anak kecil disertai pesan:"ibu saya seperti mimpi punya mobil seperti punya ibu, terima kasih atas bimbingannya selama ini, ibu yang telah mendidik dan membimbing saya sampai disini. Saya bukan pamer bu, hanya ingin menunjukkan ibu luar biasa, mungkin ada yang tidak mengakui ibu, tetapi bagi saya ibu luar biasa". Membaca WA ini rasa trenyuh, bangga, senang (bukan Ge eR), menjadi satu. Padahal penulis tidak pernah merasa andil untuk mewujudkan mimpinya dapat membeli mobil, semua itu karena kerja keras, cerdas, profesional, dan ikhlas (bersih hati, tulus) yang telah dijalaninya.
Sosok pribadi yang pernah menjadi tim kerja yang sangat solid, bersinergi, dan saling berbagi demi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada para calon pemimpin bangsa (baca mahasiswa) dalam mencari informasi yang dibutuhkan. Penulis mempunyai konsep-konsep dengan sigap diterjemahkan dan direalisasikan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang dipelajari secara otodidak. Sungguh menyenangkan kerja dengan orang yang cekatan selalu punya ide-ide cemerlang dan menjadi pionir di lingkungannya.
Satu hal yang selalu penulis ingat dan kagumi yaitu ilmu ikhlasnya untuk berbagi ilmu yang dimiliki tanpa mengharap "imbalan" berupa nilai rupiah. Suatu saat pernah penulis mengajaknya untuk membenahi perpustakaan sekolah di daerah Bantul, ternyata menyambutnya dengan senang hati, antusias, penuh semangat walau tanpa ada janji-janji yang menggiurkan.
 Dari sinilah justru penulis belajar "ilmu ikhlas" yang telah dimilikinya, di era serba pragmatis ini masih ada "sosok pribadi" yang mempunyai jiwa mulia, berani berbagi tanpa mengharapkan "sesuatu", itu suatu tindakan "aneh", tetapi mulia. Padahal orang berlomba-lomba mengumpulkan pundi-pundi rupiah, dengan berbagai cara termasuk yang tidak halal (haram/abu-abu).
Namun lebih aneh lagi di dunia kerja orang-orang yang ikhlas, jujur, kreatif, inovatif, sering menjadi musuh para "pecundang", yang suka menelikung, mengunting kertas dalam lipatan, licik, dan suka mencuri ide orang lain dianggap idenya sendiri. Akibatnya orang-orang ikhlas ini dengan sengaja tidak dimunculkan, karena pecundang ketakutan "niat jahatnya" terbongkar. Akhirnya orang-orang yang ikhlas itu menghadapi pecundang yang licik  sering "ngalah, yen ora kuat ngalih" (artinya mengalah kalau tidak kuat pindah/hijrah). Setelah hijrah, walau masih ketemu pecundang  di tempat baru, namun jalan justru semakin lapang, rejeki semakin mengalir sesuai kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik, bertanggung jawab, dan profesional.
Hasilnya para pecundang ditinggalkan oleh orang-orang yang ikhlas, potensial, kreatif, dan inovatif, Â mulai kelihatan "aslinya", Â ada perbedaan yang sangat nyata dari hasil kinerja, cara memberi pelayanan semua berubah. Nilai-nilai humanis, komunikasi face to face, keramahan, senyuman, sapaan, kepedulian, kepekaan sudah tidak dapat dirasakan oleh para pemustaka (orang yang memanfaatkan perpustakaan).Â
Pemustaka yang sudah mulai senang, nyaman, aman, datang ke perpustakaan, kembali muncul "keengganan" untuk memanfaatkan perpustakaan karena menemukan "oknum" pustakawan yang sudah "kehilangan jiwa" kepustakawanannya. Semuanya diukur dengan "nominal rupiah", sementara pemustaka sudah membayar uang kuliah tunggal (UKT) yang nominalnya tidak sedikit, semestinya sudah termasuk mendapatkan pelayanan perpustakaan. Â
Diakui masih banyak pustakawan yang energik, piawi memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi yang menjadi basis dalam pelayanannya, kompeten dalam bidang ilmu perpustakaan. Namun yang mempunyai ilmu ikhlas baru bisa dihitung dengan jari, alias masing sangat langka. Wajar dan manusiawi bekerja itu untuk mendapatkan imbalan berupa uang, semua orang (termasuk pustakawan) membutuhkan nilai rupiah.Â
Apakah orang yang mempunyai ilmu ikhlas itu menjadi miskin ?. Ternyata tidak, justru ketika sudah ada campur tangan Alloh SWT, semuanya bisa terjadi. Rejeki itu dapat datang dari mana saja (halal), yang tidak pernah disangka-sangka, dari berbagai arah, ini benar-benar riil, nyata, bukan rekayasa, dan terbukti.
Pustakawan muda yang mempunyai ilmu ikhlas, seperti mimpi disiang bolong ketika dapat membeli mobil baru. Ini adalah dampak ilmu ikhlas yang selalu mempermudah, menolong, menabur ilmu dan kebaikan, jujur, bekerja secara profesional ada atau tidak ada imbalan nilai rupiah, semua itu dikerjakan dengan semangat dan senang hati.Â
Doa orang banyak, para mahasiswa yang mendapat pelayanan dengan baik, termasuk surat bebas pustaka untuk wisuda ketika sudah "deadline" dan perpustakaan nyaris tutup, ternyata berbuah kemudahan mendapatkan rejeki halal. Â Akhirnya dapat terkumpul untuk membeli mobil yang diimpikan. Jadi bukan peran dari seorang ibu yang mendapat WA, tetapi ijin Alloh SWT. Kalau sudah begini, nikmat mana lagi yang di dustakan ?.