Dalam satu tahun yang berisi duabelas (12) bulan, ada satu (satu) bulan yang sangat dirindukan oleh umah Islam di seluruh dunia, yaitu bulan Ramadan. Tidak heran bila untuk menyambut kedatangan bulan istimewa itu perlu persiapan fisik, psikis, biologis, dan ekonomis, agar setelah bulan Ramadan berakhir, membawa perubahan bagi setiap muslim yang menjalaninya.
Merugilah bagi yang masih mendapat kesempatan bertemu bulan Ramadan, namun tidak ada dampak positif, dan nilai tambah untuk menjalin hubungan secara vertikal (hablum minallah), dan horisontal (hablum minannas). Bulan Ramadan wahana yang ideal untuk memperbaikinya dan meningkatkan, sehingga menjadi umat yang takwa (menjalankan perintah dan menjauhkan laranganNya).
Namun untuk menuju derajad takwa penuh cobaan, aral melintang, godaan, tantangan dan hambatan. Jalan kadang tidak lurus dan bagus, sering berbatu, bergelombang, penuh belokan tajam. Perlu hati-hati bagi setiap orang yang melewatinya, walau sudah ada rambu-rambu yang dipasang dan diberikan, sering tidak terlihat, atau godaan yang sengaja untuk menghambat perjalanan. Godaan bisa berasal dari dalam diri seseorang (internal) atau dari luar diri (eksternal).
Dan godaan paling besar adalah dari dalam diri sendiri berupa hawa nafsu. Musuh paling besar bukan tentara dengan persenjataan yang lengkap dan canggih, namun melawan "hawa nafsu" yang ada di dalam nurani dan batin/jiwa setiap orang. Hawa nafsu ada yang baik, keinginan untuk memuaskan kebutuhan jasmani dan rohani (makan, minum, dipuja, dicintai), dan hawa nafsu yang tidak baik (amarah, panas hati, meradang).
Puasa Ramadan umat Islam tidak hanya menahan lapar dan dahaga selama fajar sampai matahari terbenam, namun yang utama adalah menaham hawa nafsu yang tidak baik (secara batiniah), karena puasa itu ujian bagi umatNya.Ujian dikatakan lulus bila sudah memenuhi syarat dan ketentuan, indikator kelulusan, dan nilai terbaik adalah meningkatnya iman dan takwa.
Ada kelompok umat yang masih diberi kesempatan untuk mengulang dan memperbaiki nilai puasa. Oleh karena itu wajib  disyukuri, dinikmati, dan dijalani dengan rasa tulus ikhlas, sabar, dan senang. Dan terakhir adalah kolompok yang sudah tidak ada kesempatan lagi memperbaiki, sekedar menjalankan saja sudah tidak mampu, karena sakit parah, tua renta, dan halangan lainnya.
Ujian yang paling nyata untuk melawan hawa nafsu bagi orang yang sedang berpuasa adalah rasa haus dan lapar yang mendera ketika jam makan siang. Warung, kantin, dan restoran yang tetap buka untuk memberi pelayanan bagi yang tidak puasa, menjadi ujian berat yang harus dihadapi.Â
Memang tidak ada larangan warung, rumah makan, restoran, yang menyediakan makanan dan mimunan harus tutup, namun dihimbau untuk menghormati orang yang sedang berpuasa. Jauh hari sebelum puasa datang sudah ada himbauan di kantor-kantor, dan masyarakat, agar tercipta suasana yang kondusif.
Artinya warung, kantin, rumah makan, restoran, tetap boleh buka, asal tidak terlalu menyolok. Kalaupun ada di tempat terbuka perlu di tutup dengan kain, sehingga suasana orang sedang menikmati makan dan minum tidak terlihat langsung.
Tidak perlu ada razia warung makan, karena mereka juga dibutuhkan oleh orang-orang yang sedang tidak puasa, musafir, dan orang sakit. Selain itu bagi orang yang punya warung makan, buka jualan sebagai satu-satunya mata pencaharian untuk menghidupi anak dan keluarganya.
Apalagi rakyat kecil dengan modal pas-pasan yang harus memenuhi kebutuhan hidup, membuka warung makan adalah sember penghidupannya. Disinilah orang yang berpuasa diuji untuk memberikan kesempatan dan rasa empati kepada sesama umat agar tetap dapat bertahan hidup.
Hubungan yang harmonis (saling menghormati, memahami, merasakan) antara penjual warung makan dan orang yang sedang berpuasa, dapat menciptakan suasana yang aman, nyaman, tenang, dan kondusif. Tidak ada saling syah wasangka, arogansi karena kuasa dengan payung "toleransi" dan menegakkan aturan.
Semuanya berjalan serasi, indah, dan menyenangkan sehingga menyambut hari Raya Idul Fitri semua senang, bagi warung penjual makanan mendapatkan untung sehingga dapat membeli baju baru untuk anak istri, yang puasa pun dapat meningkat iman dan takwanya. Nikmat mana lagi yang di dustakan?
Bagaikan ulat, yang sudah menjadi kupu-kupu yang indah menawan bagi semua orang. Setelah menjalani puasa dapat lulus ujian dan berubah sikap, sifat, tingkah laku, dan kata-katanya selalu menyejukkan, lembut bagi yang mendengarkan, tidak lagi meledak-ledak, yang kasar dan tidak sopan. Inilah nikmatnya puasa dapat menahan hawa nafsu lahiriah dan batiniah, jiwanya tenang, pasrah, ikhlas, dan tetap semangat dan berenergi menyebarkan "virus" kebaikan.
Yogyakarta, 25 Mei 2018 pukul 13.06 Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H