Setiap tanggal 17 Mei ada momentum penting bagi bangsa ini karena menyangkut tugas mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sayangnya, dua (2) peristiwa ini sepi dari pemberitaan, termasuk ketika ada pustakawan berprestasi tingkat ASEAN pun luput dari liputan media massa cetak dan elektronik. Buku, perpustakaan, dan pustakawan tidak bisa dipisahkan karena sebagai tri tunggal dalam upaya menuju tingkat peradaban dan budaya yang lebih tinggi. Tidak ada negara yang mempunyai tingkat peradaban dan budaya tinggi yang mengacuhkan tri tunggal tersebut.
Perpustakaan dari kata dasar pustaka awalan dan akhiran per - an, pustaka berarti buku. Kalau dalam UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, buku itu koleksi perpustakaan, dalam ketentuan umum pasal 1 dikatakan koleksi adalah:" semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan".Â
Definisi perpustakaan adalah: "institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka". Sedang pustakawan adalah: "seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan".
Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa tri tunggal buku, perpustakaan, dan pustakawan adalah kondisi yang ideal, harus ada dalam kesatuan yang bulat, utuh. Artinya bila tidak ada salah satu pasti terjadi ketidak beresan, kekacauan, ketidak sinkronan, dan kehancuran.
Jadi tri tunggal itu tidak dapat dipisah, dilepas, digembosi, apalagi ada intervensi demi untuk kepentingan perorangan, kelompok dan golongan. Sengkarut buku, perpustakaan, dan pustakawan sudah saatnya ditangani secara profesional dengan mengutamakan kepentingan negara dan tujuan mewujudkan Indonesia cerdas melalui gemar membaca dengan memberdayakan perpustakaan dan pustakawan.
Sengkarut masalah perbukuan yang masih menjadi persoalan klasik harga buku yang tinggi karena harga kertas mahal, pajak, kualitas isi, penulis buku langka, dan kecilnya apresiasi (royalti) untuk penulis yang besarnya 10 persen sampai 15 persen dari harga buku. Itu saja masih dikurangi pajak penghasilan sebesar 15 persen, penerbit yang "tidak jujur" dalam memberi laporan, buku "dibajak" (ini sangat merugikan penulis).Â
Disisi penerbit juga merasakan daya beli buku rendah, pajak, distribusi yang tidak merata, minat baca rendah, ongkos produksi dan biaya promosi tinggi. Banyak penerbit yang sudah "kolaps", antara hidup dan mati, padahal menjadi tumpuhan anak dan istri.
Masalah-masalah klasik belum tuntas sudah dihadang dengan era digital, akibatnya buku cetak mulai ditinggalkan (walau masih dibutuhkan), karena beralih ke e-book. Padahal UU No.3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan telah diundangkan, belum menuntaskan permasalahan klasik dan digital dengan persoalan buku. Dalam UU itu, hak penulis tidak secara jelas dan tegas disebutkan prosentasinya.
Perpustakaan di Indonesia sama halnya dengan buku, masalahnya pelik dan belum ditangani secara tuntas, komprehensif mulai yang klasik (SDM, manajemen, dana, sarana prasarana, sistem, koleksi) dan perhatian pimpinan.
Dimana-mana pimpinan tertinggi yang membawahi perpustakaan, mempunyai otoritas mutlak untuk hidup matinya suatu perpustakaan, karena sebagai penentu kebijakan. Berdasarkan pasal 20 UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, di Indonesia ada 5 (lima) jenis perpustakaan yaitu perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan sekolah/madrasah, perpustakaan perguruan tinggi, dan perpustakaan khusus.