Kata orang masa kecil adalah masa paling indah, yang menjadi kenangan tersimpan dalam memori otak bawah sadar. Tidak setiap orang dapat mengenang masa kecil selain sudah lupa, membuka lembaran masa kecil sama dengan membuka “luka lama”, sehingga perlu kekuatan lahir batin untuk menyampaikannya. Perasaaan traumatik, terluka, seperti diaduk-aduk, diiris-iris, menjadi alasan utama untuk menutup rapat-rapat masa kecilnya. Namun ada juga yang dengan enteng membuka masa kecilnya, sebagai motivator keturunannya. Daya juang, ketabahan, kesabaran, dalam menghadapi kesulitan dengan kondisi serba kekurangan, dapat sukses dunia akherat adalah “sesuatu” yang patut dibanggakan.
Masa kecil juga menjadi momentum yang mengesankan ketika menghadapi bulan istimewa puasa Ramadan selama sebulan.
Seperti biasa anak kecil yang sedang latihan puasa ataupun sudah dapat puasa sehari penuh, pasti ada kenangan indah yang sulit di lupakan.
Kendala utama adalah penyebaran ilmu agama yang belum masif seperti saat ini, berdampak pada bekal ilmu puasa sangat minim.
Selain membaca buku, guru agama di sekolah, “kyai” iman langgar yang ilmunya secara otodidak, lingkungan dengan kebiasaan turun temurun, menjadi modal menjalani puasa. Masjid masih jarang, dalam 4 (empat) dusun hanya ada 1 (satu) masjid.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, saat ini orang dengan mudah mempelajari ilmu agama melalui berbabagi media (cetak dan elektronik).
Walaupun tetap harus selektif dalam memilih dan memilah informasi tentang agama, yang di posting melalui media sosial. Tidak sedikit yang beredar itu adalah informasi “hoaks”, yang dengan entengnya di-"copas”, dan disebarkan melalui group WA, facebook, twitter, line, dengan sumber yang sangat diragukan dan isinya bertentangan dengan kaidah agama.
Aksi copas berjamaah tanpa cek dan recek dapat menyesatkan umat Islam yang sedang belajar agama.
Menjalankan ibadah puasa bukan sekedar menahan makan, minum, sejak Subuh sampai Magrib (puasa lahiriah), namun batiniah juga harus berpuasa.
Tidak sedikit orang yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan haus, yang sia-sia, karena tidak bisa menahan “nafsu” lahiriah dan batiniah, misalnya suka marah, serakah, rakus, iri, dengki, ghibah, gosip, menyebar hoaks, fitnah, ujaran kebencian, mencela, mengejek, mencaki maki, tidak jujur, mengadu domda, dan menggandakan uang (riba).
Ibaratnya puasa ini seperti ulat yang ditakuti, setelah menahan diri tidak rakus makan dedauan dalam kepompong, pada saatnya menjelma menjadi kupu-kupu yang menarik, menawan, dan indah dipandang mata.
Puasa Ramadan yang paling dinanti, khususnya anak-anak adalah saat berbuka puasa. Sambil menunggu waktu dimanfaatkan untuk bermain ala anak-anak zaman “old”yang sekarang disebut sebagai permainan tradisional. Bekelan (untuk anak perempuan), “ganjilan” dengan karet (laki-laki dan perempuan), engklek, dakon (congklak), gobak sodor, kelereng (anak laki-laki), petak umpet, main egrang, gasing, bentik (gatrik), kasti, layang-layang, lenggang rotan, lompat tali, masak-masakan/rumah-rumahan, perang-perangan.
Permaianan tradisional ini sudah jarang dimainkan oleh anak-anak zaman “now”, karena gadget sudah menguasai mata, tangan, pikiran, dan perhatian anak-anak,akibatnya menjadi egois. Inilah kelebihan permainan tradisional anak-anak zaman “old” yang menonjolkan kebersamaan, kegotong royongan dan kerja tim untuk melawan musuh bersama.
Selain itu masih ada hal menarik bagi anak-anak di desa sambil menunggu saat berbuka dengan membunyikan “long bumbung” yang dibuat dari bambu, dilubangi kecil dan ruan penghalang di hilangkan kecuali bagian paling atas. Bagian paling atas diberi minyak tanah, kemudian dengan kayu kecil yang sudah dicelupkan minyak tanah dimasukkan ke lubang kecil tersebut. Bila berhasil akan timbul bunyi “blub”, dan keluar asap. Memang harus hati-hati, apalagi karena ada minyak dan api. Untuk mengosongkan asap di dalam bambu agar bisa berbunyi, ditiup secara manual.
Masih ada kesan yang indah yang sekarang tidak akan ditemui lagi yaitu menunggu suara “duul” sebagai pertanda buka puasa untuk Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Suara dentuman “dull” ini, disertai kepulan asap yang menjulang tinggi dan terlihat di utara desa, dapat dinikmati bersama teman-teman. Suara “duul” bersamaan dengan suara “sirine” dari radio RRI Nusantara II Yogyakarta, yang diperdengarkan melalui pengeras masjid.
Asal suara dentuman seperti “bom” yang berbunyi “duul”, dari Masjid Gede Kauman Alun-alun Utara Yogyakarta. Jaraknya 6 (enam) km, dari desa bisa terdengar jelas, karena belum banyak suara knalpot mobil dan motor.
Namun seiring perjalanan waktu dan perkembangan pemukiman yang padat, dan banyaknya mobil dan motor, suara “duul” itu sudah tidak ada lagi. Suara “duul” waktu itu sebagai pertanda buka puasa bagi masyarakat Kota Yogyakarta, saat ini menjadi kenangan indah yang tidak bisa dilupakan.
Yogyakarta, 3 Juni 2018 Pukul 09.55
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H