Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Bulan Ramadhan pun Usai dengan Gemilang, Terima Kasih "The Power of Emak-emak"

13 Juni 2018   16:35 Diperbarui: 15 Juni 2018   12:47 2662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: travel.kompas.com | IRENE SARWINDANINGRUM)

Di penghujung puasa Ramadhan kemarin, kesibukan berpindah dari bank-bank ke pasar tradisional, mal, panti asuhan, dan yayasan yatim piatu. Intinya membelanjakan uang THR dan gaji bulan Juni, bagi PNS, karyawan BUMN, perusahaan. Bagaimana yang tidak mempunyai pekerjaan tetap?

Wajah-wajah penuh penantian untuk mendapatkan uluran tangan dari kepedulian tetangga, saudara, dan pembagian zakat fitrah. Mereka fakir miskin, tetapi masih mempunyai “harga diri” tidak memberdayakan kemiskinannya untuk memaksa orang lain peduli.

Namun ada orang-orang yang secara fisik kekar, kuat, tangan bertato, menjelang Hari Raya Idul Fitri ini, datang ke rumah-rumah yang secara berkelompok naik “betor”/becak motor, untuk meminta-minta jatah zakat. Entah dari mana asalnya, datangnya secara tiba-tiba, dan berombongan 5 – 7 orang.

Wajah-wajah sangar, dengan ketok-ketok pintu keras, dan pencet bel rumah berkali-kali “kadang” membuat tuan rumah takut membuka pintu dan mengurungkan niat untuk memberi. Kalaupun diberi, dalam tempo singkat akan datang rombongan baru yang lebih banyak. Padahal pembayaran zakat fitrah, zakat mal sudah disalurkan ke masjid, panti asuhan, yayasan sosial kaum dhuafa, yatim piatu yang lebih membutuhkan.

Dalam kondisi menghadapi para peminta-minta “dadakan” menjelang lebaran, para emak-emak membukakan pintu dengan rasa deg-degan dan santun bilang:”maaf zakat sudah disalurkan di masjid”. Biasanya dengan begitu mereka langsung pergi dan tidak ada yang kembali lagi rombongan berikutnya.

Dalam menghadapi situasi demikian bukan berarti tidak bersedia berbagi dengan orang lain yang membutuhkan, namun naluri emak-emak ini pemberian salah sasaran. Orangnya secara fisik kuat, gagah, sehat, namun tidak mau mencari nafkah dengan kerja keras. Di sini nampak ada “mental peminta” yang tidak paham makna “harga diri”, juga kurang menjiwai bahwa tangan bawah itu tidak lebih baik dari tangan di atas.

Dalam tulisan di sini yang dimaksud “the Power of Emak-emak”, yang mempunyai konotasi positif, bukan “the Power of Emak-emak”, yang selalu viral di media sosial, TV, media cetak dan elektronik, yang kontasinya negatif. Misalnya naik motor tanpa helm, distop polisi marah-marah, ngamuk mencakar polisi, naik motor matic sign-nya menyala kanan, namun dengan entengnya belok kiri. Kalau jatuh tertabrak, emosinya lebih keras daripada orang menabrak, padahal jelas salah.

Intinya emak-emak yang suka mencari masalah, tidak peduli walau salah, yang penting kepentingannya terpenuhi. Sangat egois bukan? Sudah jelas ada antrean panjang untuk mengambil uang di bank, dengan enaknya tanpa merasa berdosa menyerobot antrian. Kalau emak-emak mempunyai perilaku demikian bagaimana hasil mengajarkan anak-anaknya tentang budi pekerti, etika, sopan, santun, menghargai dan menghormati orang lain?

“The Power of Emak-emak “ yang berkonotasi positif, menjelang lebaran ini diuji ketangguhnnya baik secara fisik, psikis, mental dan spiritual.

Jam kerja dalam bulan puasa Ramadhan lebih panjang, malam bangun lebih awal untuk menyiapkan makan sahur, menjalankan ibadah, urusan kerumahtanggan yang tidak ada habis-habisnya. Padahal bapak-bapak yang kerja di kantor jam kerjanya justru diperpendek 1,5 jam per hari, dan ketika pulang langsung bisa istirahat, baca koran, nonton TV, ke masjid.

Menjelang Lebaran ini jam kerja emak-emak diperpanjang lagi untuk menyiapkan hidangan ektra yang berbeda dari menu sehari-hari. Membuat kacang bawang, kacang telur, tape ketan, lemper, wajik, kue kering (bagi yang hoby), belanja ke pasar membeli segala keperluan untuk persiapan lebaran. Setelah sholat subuh langsung “berburu” daging di depot langganannya, yang harus antre dengan berdiri, selama 2 (dua) jam.

Lanjut ke pasar tradisional membeli bumbu opor, selongsong ketupat, ikan laut untuk persediaan lebaran, ketika warung masih tutup. Sampai rumah harus menyiapkan hidangan untuk buka puasa, bersih-bersih rumah, semua dikerjakan dengan senang hati karena anak, cucu, mantu akan datang kumpul kembali dengan jumlah anggota yang terus bertambah. Senang dan bangga rasanya dapat menikmati kebersamaan keluarga, yang tidak dapat dinilai dengan nominal berapapun.

Sebenarnya emak-emak setiap hari sudah terbiasa menghadapi kesibukan mengurus kerumahtanggan dan menghadapi kehidupan yang penuh lika-liku, namun dengan sabar, tawakal, pasrah, bersandar kepada Alloh SWT. Walau emak-emak itu diciptakan dari tulang rusuk pria, namun dalam ketelitian, ketelatenan, kesabaran, ketulusan, lebih kuat emak daripada bapak. Kalau dalam keluarga emak sakit, kehidupan keluarga seperti terhenti.

Emak-emak adalah mata kasih sayang, cintanya sepanjang waktu, walau cinta anak hanya sesaat ketika masih anak-anak. Setelah dewasa dan mandiri sudah mempunyai kesibukan, sehingga untuk sekadar say halo, telepon saja tidak ada waktu. Ibaratnya, seorang emak bisa merawat 5 (lima) anak-anaknya waktu masih kecil, namun 5 (lima) anaknya tidak bisa merawat seorang emak yang semakin renta.

Doa emak-emak untuk anak-anaknya langsung tembus langit ketujuh, langsung di dengar oleh Alloh SWT, sangat mustajab. Oleh karena itu emak-emak kalau marah, jengkel dengan anak-anaknya harus hati-hati, ditahan jangan sampai terucap kata-kata yang tidak baik (nakal, maaf “goblok”), apalagi keluar nama binatang. Berkatalah yang baik, karena itu doa, misal anak minta sesuatu dengan cepat, emak harus bilang ”Sabar, semuanya perlu proses, permintaannya seperti jenderal bintang lima”.

Tidak salah kalau surga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Hari Raya Idul Fitri sebagai momentum terbaik untuk meminta maaf dan mohon doa restu orang tua, karena ridho Alloh, ridho orang tua. Mumpung masih diberi kesempatan, karena ksesuksesan anak-anak pasti ada campur tangan doa dan ridho orang tua terutama emak.

Yogyakarta
Juni 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun