Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Kenangan Bulan Mei di Kampus Biru

14 Mei 2018   09:54 Diperbarui: 17 Mei 2018   07:08 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebutan Kampus Biru untuk Universitas Gadjah Mada mencuat ketika seorang dosen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol) Ashadi Siregar menulis novel berjudul :”Cintaku di Kampus Biru”, yang diangkat dalam film layar lebar pada tahun 1976 oleh Ami Prijono. Cintaku di Kampus Biru dibintangi oleh Roy Marten, Rae Sita Supit, Yati Octavia, dan Yeni Rachman.

Novel ini berawal dari cerita bersambung yang dimuat harian Kompas pada tahun 1972, dan tahun 1974 oleh penerbit Gramedia Jakarta diterbitkan menjadi karya sastra berupa novel. Sukses besar diraih oleh Ashadi Siregar, dosen sederhana yang tidak mau pensiun untuk tetap menulis, karena dunia tulis dan jurnalistik tidak akan terukur oleh waktu, walau secara formal sudah resmi pensiun. Pada ulang tahun yang ke-65 para kontributor penulis (33 orang) mempersembahkan karya berjudul:” Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dar Kampus Biru”. ( https://seleb.tempo.co/read). 

 Kampus Biru membawa sejuta kenangan yang tidak dapat dihapus begitu saja. Tulisan ini sekedar mengenang kejadian yang pernah dirasakan pada periode Mei 1998 di Yogyakarta dan Kampus Biru. Berita di berbagai media TV, surat kabar cetak dan elektronik yang bisa didengar, dilihat, sungguh mengaduk-aduk perasaan duka yang mendalam. Pemicu awal adalah krisis moneter (krismon) yang dirasakan sejak 1997 di negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia yang nilai rupiahnya semakin terpuruk, inflasi, dan banyak masyarakat menukarkan dolar. 

Peserta asuransi dolar tidak mampu membayar, dan menarik premi sebelum jatuh tempo. Kondisi panik ini merembet ke aksi protes pemerintah orde baru dibawah Suharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun.

Aksi unjuk rasa oleh mahasiswa dimulai tanggal 2 Mei 1998 di Medan yang terus diikuti oleh mahasiswa seluruh Indonesia. Di Jakarta tanggal 12 Mei 1998 tragedi Trisakti yang menewaskan 4 (empat) mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tertembak di kampusnya, dan sampai saat ini belum terungkap misteri penembaknya. Suasana di Jakarta semakin memanas, dan kondisi ini juga dirasakan di Yogyakarta. Mahasiswa Moses Gatutkaca menjadi korban di daerah Mrican dekat Jalan Gejayan, namanya diabadikan menjadi nama jalan di selatan kampus Universitas Sanata Darma.

 Di kampus biru, di bunderan pintu gerbang menjadi tempat strategis mahasiswa PTN dan PTS yang bersatu, sangat kompak berunjuk rasa dengan tuntutan menurunkan Presiden Suharto. Perempatan Wirobrajan, perempatan Gondokusuman juga menjadi tempat untuk berorasi. Ruas jalan macet dimana-mana, adalah pemandangan sehari-hari. Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Propinsi DIY tampil di atas mobil bak terbuka untuk menenangkan massa agar tidak bertindak anarkis, dan tetap tertib.

Puncaknya tanggal 20 Mei 1998, di kampus biru praktis tidak ada kegiatan perkulihan dan pelayanan. Namun civitas akademika dan tenaga kependidikan (sebagian) tetap datang untuk sekedar melihat suasana, lalu bergabung bersama-sama dari Fakultas masing-masing berjalan rapi menuju Graha Sabha Permana (GSP). Diiringi Satpam dalam barisan rapi di dalam tali rafia supaya tidak ada “penyusup” dan  membawa bendera kertas bertuliskan:”turunkan darpada saya”, ikat kepala bertuliskan “reformasi”.  Di GSP sudah berkumpul massa dari berbagai elemen masyarakat dan bergabung dengan mahasiswa mendengarkan orasi dari Rektor, tokoh budayawan dari Kampus Biru. Sri Sultan HB X bersama GKR Hemas hadir bergabung dengan massa di depan GSP untuk berorasi.

Pagi itu mahasiswa, pelajar, pegawai, bergabung dengan masyarkat dari berbagai penjuru Yogakarta (arah utara titik kumpul di kampus biru, timur, selatan, dan barat) kompak, bersatu dengan berjalan kaki menuju Alun-alun Utara depan Keraton Yogyakarta untuk melakukan “pisowanan ageng” (menghadap raja/gubernur) untuk menunggu maklumat. 

Media massa koran cetak dan elektronik menyebut juga sebagai “Gerakan Rakyat Yogyakarta”, “Aksi Damai Rakyat Yogyakarta”, “Reformasi Damai”. Masyarakat dengan spontan, suka rela bergotongroyong menyediakan nasi bungkus dan minum gratis yang disediakan untuk peserta jalan kaki. Toko-toko sepanjang jalan yang dilalui tutup dan ditulisi “Pro Reformasi”. Praktis lalu lintas dan angkutan kota lumpuh, massa menumpuk di Alun-alun Utara dan ruas-ruas jalan yang berafiliasi ke Alun-alun Utara.

Sesampai Alun-alun Utara yang penuh mahasiswa dan masyarakat Yogyakarta jumlahnya hampir sejuta orang, mendengarkan pembacaan Maklumat dari Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY Sri Sultan HB X dan Sri Paku Alam VIII. Inti maklumat itu ada 4 hal yaitu:

  1. Ajakan masyarakat Yogyakarta dan seluruh rakyat Indonesia mendukung Gerakan Reformasi dan memperkuat kepemimpinan nasional yang memihak rakyat.
  2.  Ajakan agar ABRI dalam persatuan yang kuat melindungi rakyat dan Gerakan Reformasi sebagai wujud kemanunggalan ABRI dan Rakyat.
  3. Ajakan semua lapisan dan golongan masyarakat di DIY dan seluruh Indonesia untuk menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, mencegak setiap tindakan anarkis yang melanggar moral Pancasila.
  4. Menghimbau masyarakat DIY dan seluruh Indonesia untuk berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing untuk keselamatan Negara dan Bangsa. (http://nationalgeographic.grid.id/read/).

Aksi damai sejuta rakyat Yogyakarta itu dari pagi sampai jam 18.00 berjalan tertib, lancar, bersatu, penuh semangat dengan lagu-lagu perjuangan, tanpa keributan dan kericuhan. Keesokan harinya tanggal 21 Mei 1998 jam 09.00 Suharto mengumumkan  mundur sebagai Presiden Ri, dan dilantik BJ. Habibi untuk menggantikan sampai masa jabatan berakhir. Namun tahun 1999 diadakan pemilu, sehingga BJ Habibi diganti oleh Abdulrrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Wakil Presiden, setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Namun 2001 mandat MPR dicabut dan dilanjutkan oleh Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke-5 sampai tahun 2004.

Semua itu ada rentetannya dengan kampus biru yang ketika itu sungguh mengharu biru suasananya, namun tetap aman dan terkendali  walau setiap hari aparat lengkap dengan peralatannya selalu siap di pintu gembang kampus. Tank-tank terparkir di sisi jalan boulevard menuju GSP. Sungguh kenangan ini tidak terhapus begitu saja, dan kondisi ini juga pernah terjadi pada tahun 1977 di depan gedung pusat dan dekat cemara tujuh kampus biru, yang menjadi saksi sejarah perjuangan politik mahasiswa Indonesia.

Yogyakarta, 14 Mei 2018 pukul 09.04

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun