Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

"Merasa Cukup" dan Hidup Pas-pasan

27 April 2018   21:11 Diperbarui: 27 April 2018   21:58 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rejeki, jodoh, mati itu sudah ada yang mengatur, namun perlu dijemput dengan ikhtiar kerja keras, usaha, dan berdoa. Bukan berarti menunggu datangnya “si godot” yang ternyata tidak datang, dan akhirnya sedih dan kecewa. Godot sendiri tokoh fiktif dalam drama karya Samuel Beckett dari Irlandia pada tahun 1952.

Demikian juga dengan rejeki, tidak datang begitu saja seperti meteor yang jatuh dari langit. Perlu ada perjuangan untuk menjemputnya, dengan bekerja yang mendapatkan gaji/upah. Berapapun wajib disyukuri, karena akan semakin menambah berkah dan kenikmatan.

Perlu dipahami bahwa rejeki itu tidak melulu berupa “nilai rupiah” atau “nilai dolar”, sebongkah emas, mobil mewah, rumah megah. Namun kesehatan, kesempatan, mempunyai teman/tetangga  yang saling mengasihi, toleransi, semua itu sebagai rejeki yang tidak bisa dinilai dengan rupiah dan dolar.

Betapa “kosong dan sepi” jiwanya dalam rumah megah, mobil mewah, uang banyak, tetapi tidak mempunyai teman, tetangga yang bisa diajak bicara, chatting, video call, line, twitter, facebook, Whashapp.  Padahal hidupnya dikelilingi oleh gemerlapnya dan kemewahan dunia, dayang-dayang yang siap membantu mengurus keperluannya karena dibayar dengan sebagian kecil uangnya.

Menjemput rejeki pun tidak perlu “ambisius”, namun tetap harus berambisi untuk mendapatkannya, supaya ada usaha dan semangat. Seperti mengikuti lomba blog, karya tulis, kalau belum mendapat juara, berarti belum rejeki, dan pastinya ada yang lebih baik.

Rejeki itu, dikejar sampai ngos-ngosan, kalau belum rejeki kita tidak akan sampai ke tangan. Sebaliknya tanpa dikejar pun, kalau itu sudah rejeki pasti akan mendekati ke kita. Jadi mengapa mesti “panas dingin” ketika ada orang lain mendapat rejeki lebih banyak dengan kita ?.

“Merasa cukup”, dengan rejeki yang didapatkan dan mensyukurinya, maka janji Alloh SWT akan menambah nikmatNYa. Kalau kita merasa cukup maka dengan rejeki yang ada, akan dicukupkan semua keperluan yang dibutuhkan (bukan yang diinginkan). Sebaliknya kalau merasa kurang, pasti akan kekurangan terus walaupun gaji/penghasilannya sangat besar. 

Merasa cukup dan suka berbagi (tidak harus uang), pengalaman, ilmu yang dimiliki walau sedikit akan menginspirasi, memotivasi, dan memberi semangat untuk terus berusaha dan berdoa. Pantang putus asa bila menghadapi masalah, karena ada tempat berbagi yang siap memberi amunisi kebaikan.

Hidup “pas-pasan” itu berarti bukan kekurangan dan hanya cukup untuk makan hari ini. Namun hidup “pas-pasan” berarti pas butuh pas ada, artinya pas butuh membayar uang kuliah tunggal (UKT) yang jutaan itu pas ada, pas butuh mobil ada uang untuk membelinya, pas butuh rumah ada yang memberi penawaran dengan harga murah.

Rejeki itu datang secara tiba-tiba dan dari berbagai penjuru (bukan korupsi), dapat honor ini itu, hadiah lomba ini itu, hibah yang tidak pernah diduga sebelumnya. Namun mendapat hadiah lomba pun pasti ada perjuangan agar dapat yang terbaik.

Inilah hikmah orang yang suka berbagi, apapun dinikmati, disyukuri, dan selalu menyisihkan/memberikan sebagian rejeki yang diperoleh itu karena minumum 2,5 persen hak orang lain. Membersihkan rejeki yang bukan hak kita, menjadi “kail” untuk datangnya rejeki yang lebih banyak. Tidak percaya ?. Silahkan membuktikan sendiri, karena ini sudah riil/nyata terbukti kesahihannya.

Rejeki yang digunakan untuk jalan kebenaran, akan membuahkan kebaikan dan kebajikan. Pantangan membelanjakan rejeki dengan sistem “besar pasak dari pada tiang”, sebab nanti bisa “ambruk” (bahasa Jawa)/runtuh.

Membuat perencanaan penggunaan gaji dan/atau penghasilan sesuai yang dibutuhkan pada bulan itu, yang disebut Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Keluarga (RAPBK). Tugas seorang ibu untuk menjadi “menteri keuangan” yang mengatur gaji/penghasilan suami.

Kebutuhan primer (pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan) harus didahulukan daripada kebutuhan sekunder, apalagi tersier. Kekacauan keuangan dalam keluarga berawal dari tidak bisa menahan “hawa nafsu” untuk memenuhi kebutuhan sekunder, dan tersier, sementara kebutuhan primer diabaikan. Lebih mementingkan “keinginan” yang sebenarnya masih bisa ditunda, dari pada kebutuhan yang harus disediakan saat itu karena tidak bisa ditunda lagi.

Awal petaka “salah urus” rejeki, karena dominasi keinginan lebih kuat daripada kebutuhan. Akibatnya pinjam, kredit, dengan agunan ataupun tanpa agunan, bahkan semakin “serakah” ketika dapat pinjaman di koperasi, yayasan, bank A, bank B, bank C, dan hidupnya mengandalkan “kartu kredit”.

Bahkan “mengoreng struk gaji”, artinya sebenarnya gaji yang di bawa pulang ke rumah sudah minim, “dibuat” seakan masih utuh tidak ada potongan. Akibatnya gaji semakin minus, dan struk gaji bikin stres dan “stroke” beneran. Semoga kita terhindar dari model beginian, sehingga bisa menikmati hidup semakin hidup.

Yogyakarta, 27 April 2018 pukul 21.06

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun