Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengejar "Pengakuan", Bikin Hidup Menderita

30 April 2018   23:53 Diperbarui: 2 Mei 2018   05:17 3585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (pixabay)

Hidup ini sudah susah, jangan bikin hidup jadi tambah susah. Namun ada saja watak, model, karakter orang yang aneh-aneh, yang inginnya dapat menggapai dunia ini setinggi langit. Itu sah-sah saja, asal disesuaikan dengan kondisi daya dukung finansial yang dimiliki. Hidup ini realita (nyata, riil, kelihatan, dirasakan) bukan di alam “mimpi”, diatas awan terbang melayang bagaikan di dunia maya,  tidak bisa diraba tetapi bisa dirasakan.

Namun perjalanan hidup orang itu bak roda yang selalu berputar, kadang dibawah, kadang diatas. Sebagai orang yang beriman, ketika posisi sedang dibawah, menghadapi dengan sabar, tawakal, berusaha, dan berdoa. Sebaliknya ketika sedang diatas, mensyukuri nikmat yang telah dilimpahkan dengan tetap santun, menghargai, dan menghormati siapapun. Bukan merasa “adigang, adigung, dan adiguna (sifat yang mengandalkan kesombongan dengan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian) yang dimiliki.

Sering orang tidak menyadari “penyakit hati” yang bersarang ditubuhnya, walau secara fisik sehat wal’afiat. Penyakit ini dibiarkan tumbuh subur tanpa dibasmi dengan “siraman rohani”, kalaupun disiram cepat kering oleh ketamakannya. Selalu “merasa” kurang dengan apa yang sudah dimilikinya, karena ukurannya orang lain yang secara riil melebihi dalam segala hal (ilmu, pendidikan, sikap, jejaring, prestasi). 

Mulailah “bisikan syetan” beraksi agar dapat menyamai orang yang menjadi “rival hidupnya”. Padahal rivalnya mendapatkan harta, benda, pengakuan, dengan perjuangan, dan melewati tangga setapak demi setapak (step by step) diiringi usaha, kerja keras, dukungan, restu orang-orang terdekatnya.

Demi mendapatkan “pengakuan” agar “dianggap” sebagai  orang kaya, terkenal, dan perpengaruh, apapun dilakukan. Menurut versinya bahwa seseorang diakui lingkungannya kalau mempunyai mobil, rumah, bergaya hidup bak selebriti (sepatu high hill, kaca mata hitam ditaruh diatas rambut, baju model terkini, kamar mandi rumah seperti hotel bintang 5, pesta ulang tahun di restoran, traveling sekeluarga ke luar P. Jawa). Berjalan seperti kaki tidak menapak di bumi, pandangan keatas, sehingga setiap ketemu orang tidak pernah menyapa karena tidak melihatnya.

Bila ada orang lain mempunyai  barang berharga, membeli mobil baru, tanah, rumah, badan “panas dingin”, resah, gelisah, tidak tenang, bagaimana caranya untuk mendapatkan sesuatu seperti yang dimiliki orang lain. Norak dan “kepo” dalam mencari informasi untuk mendapatkan “sesuatu” yang diinginkan, bukan yang dibutuhkan. Hidupnya diisi dengan nafsu “serakah”, kalau dipercaya tidak amanah, fragmatis, dan kalau perlu melakukan tindakan yang tidak beretika, merugikan, bahkan tega “menghabisi” siapapun yang dianggap sebagai rival. Sadis, tidak memiliki “rasa” kemanusiaan, apalagi hati nurani, sudah tertutup oleh penyakit hati yang kronis.

Dalam menjemput rejeki menghalalkan segala cara, yang penting dapat uang, tidak pernah terpikir itu haknya atau bukan, serobot sana, serobot sini. Tidak jujur dalam bertutur kata, makan uang “riba”, pandai bersilat lidah, melakukan tipu daya, rayuan gombal, untuk mendapatkan uang, uang, dan uang. Ibaratnya ketika naik tangga, kaki tidak menapak satu persatu, namun tiga atau empat tangga sekaligus karena ingin cepat sampai puncak. Kalau tidak hati-hati, belum sampai puncak sudah jatuh terjerembab dan "terluka".

Untuk mendapatkan pengakuan dengan lingkungan bila tidak mempunyai uang, dengan hutang pun dijalani, dan hidup mengandalkan “kartu kredit” yang tinggal gesek sana, gesek sini, biar diakui sebagai "orang modern" bukan orang udik yang "alergi" dengan banyak kartu kredit di dompetnya. Tidak pernah terbesit dalam benaknya untuk mengembalikan hutang-hutangnya, ketika mempunyai uang langsung dibelanjakan untuk memenuhi keinginannya. 

Ketika semua kartu kredit "jatuh tempo", dan hutang-hutang harus dibayar, akhirnya aset yang dimiliki satu persatu berpindah tangan alias dijual. Walau aset sudah habis terjual, lubang-lubang hutang itu belum tertutup, sungguh menderita. Untuk biaya pendidikan mencari "bidikmisi", dengan surat keterangan "tidak mampu" dari RT/RW, yang disahkan sampai Pak Dukuh, dan Pak Luarah dan Pak Camat.

Semua itu dilakukan untuk mencari "pengakuan", dari lingkungannya. Padahal sejatinya lingkungannya tidak merespon, karena lebih mengapresiasi orang-orang biasa, wajar, sopan, santun, ramah, berprestasi tetapi tidak sombong, toleran, murah senyum, dan menghargai orang lain. 

Lingkungannya tidak silau dengan status sosial yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak wajar. Ibaratnya ingin mendapatkan pengakuan status sosial, sangat mahal di ongkos, karena hanya mengikuti “hawa nafsu” keinginan agar dapat menyaingi orang lain yang menjadi rival. Padahal rival sejatinya adalah “hawa nafsu”, yang bersarang di dalam sanubari, tidak pernah terlihat karena yang dilihat adalah kesuksesan, bukan kegagalan orang lain.

Sungguh sengsara nasib orang yang mengejar pengakuan tanpa melihat kemampuan dan kondisi sesungguhnya. Keterpurukan yang dialami, bukan untuk introspeksi diri, walau telah mendapat “sentilan” dari TuhanNya diabaikan, dianggap sebagai “takdir”. Tidak mau mengambil pengalaman sebagai guru yang terbaik, mengulangi kesalahan yang sama, padahal “keledai” pun kalau sudah jatuh tidak akan kembali melewati jalan yang sama. 

Namun dari keterpurukan orang itu, orang-orang dalam lingkungan justru dapat memetik pelajaran yang sangat berharga. Intinya menjalani hidup ini tidak perlu penuh “sensasi”, biasa dan wajar saja. Untuk apa harus dipoles dengan kepalsuan sekedar ingin mendapatkan pengakuan oleh lingkungannya. 

Padahal pengakuan itu tidak perlu dikejar, dan selalu mendekat kepada orang-orang yang tulus, jujur, baik hati dan tidak sombong. Tidak percaya? Silakan dibuktikan...

Yogyakarta, 30 April 2018 pukul 23.57

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun