Siapa yang tidak senang di dalam dompetnya berjajar kartu macam-macam yang sangat “ajaib” tinggal gesek tanda tangan semua barang yang dibeli di swalayan, toko elektronik, makan di restoran, cafe, tiket pesawat, KA, traveling, tagihan listrik, telepon, PAM, Indi Home, TV Kabel, praktis “gesek” urusan beres.
Proses cepat,prosedur mudah, enak, praktis, tidak repot harus mempunyai uang tunai, gesek, pencet, tanda tangan, selesai semua tagihan dan pembayaran. Aman, terhindar dari bentuk kejahatan (copet, rampok)bila membawa uang banyak di tempat keramaian.
Memiliki kartu kredit itu bagi orang-orang yang senang kepraktisan, tidak suka ribet, mobilitas tinggi, memang cocok, yang sudah mempunyai anggaran/dana untuk membayarkan saat kartu kredit sudah jatuh tempo. Namun yang jadi masalah kartu kredit itu sekedar untuk “prestige” dan biar dianggap modern oleh lingkungnnya, dan tidak mempunyai dana untuk membayarnya ketika sudah jatuh tempo.
Kalau ditelisik, sejatinya kartu kredit itu adalah sarana untuk hutang di bank, dan hanya di tempat-tempat tertentu yang dapat melakukan pembayaran dengan gesekan kartu kredit. Di pasar tradisional mana ada pembayaran dengan kartu kredit.
Kartu kredit menjadi “nafas hidupnya” dalam bersosialisasi dengan lingkungannya, agar mendapat pengakuan dan meningkatkan “prestige”. Orang lain yang tidak mempunyai kartu kredit dianggap beda kelas sosial. Kartu kredit sebagai lambang peradaban modern, sering disalah tafsirkan oleh orang-orang yang berpikiran sempit, semata untuk mengejar “prestige”. Padahal tujuan utama kartu kredit untuk memberi kemudahan atau sebagai alat transaksi dan pembayaran pengganti uang tunai.
Bank memberi kemudahan dengan fasilitas “meminjamkan uang” bukan mengambil uang dari rekening, dengan menerbitkan kartu kredit. Artinya bagi orang “udik” kartu kredit itu sama dengan meminjam uang di bank, dan harus dikembalikan dengan bunga yang lebih tinggi. Bila terlambat membayar setelah jatuh tempo kena “sanksi” denda, dan semakin lama terlambat semakin banyak bayar dendanya.
Berbeda dengan kartu debet, pemiliknya mempunyai tabungan di bank sehingga transaksi dengan menggesek berarti mengurangi jumlah tabungan di bank.
Kartu kredit yang diterbitkan oleh bank itu bagaikan pedang bermata dua, sangat tergantung dari orang yang memanfaatkannya. Artinya kartu kredit diakui dapat menjadi solusi untuk melakukan pembayaran barang dan jasa tanpa harus membawa uang tunai, sekaligus membawa bencana bila tidak hati-hati dan bijaksana dalam memanfaatkannya. Hal ini karena menggesek kartu kredit, berarti membuka hutang pinjaman di bank, menggali lubang hutang, walaupun untuk kebutuhan yang sangat mendesak.
Jamak terjadi orang senang, ringan, lega, bangga memanfaatkan kartu kredit, namun ketika jatuh tempo untuk membayar terasa sangat berat, apalagi ditambah beban bunga yang lebih besar dari pinjaman bank yang biasa dan denda keterlambatan. Bisa pusing tujuh keliling, betapa tidak, karena handphone (HP), telepon rumah, kantor berdering terus.
Penulis bukan pemilik kartu kredit, karena termasuk orang udik yang “takut” memanfaatkan kartu kredit. Walau sering ditawari bank dan dibuatkan secara gratis oleh suami dan anak, namun tidak pernah memanfaatkannya. Lebih baik dicap sebagai orang udik, dengan dompet tanpa kartu kredit, dari pada banyak kartu kredit hidupnya tidak aman dan nyaman.
Diakui, orang mudah terperangkap dalam blunder keinginan memiliki kartu kredit demi prestige dan “dianggap” modern. Padahal ketika mempunyai dan menggesek kartu kredit berarti menimbulkan kewajiban untuk melakukan pelunasan pembayaran baik dengan angsuran maupun dibayar lunas/sekaligus.
Kemudahan menggesek dapat “membius” orang untuk memilikinya, sekedar memenuhi keinginan bukan kebutuhan. Pikirnya, dengan mempunyai kartu kredit yang memenuhi dompet pengakuan lingkungan dan harga dirinya naik. Sejatinya ini adalah pikiran sesat, mengikuti hawa nafsu, karena bila lepas kontrol dapat merugikan dan menimbulkan petaka pada diri dan keluarganya.
Memiliki kartu kredit adalah pilihan, yang sudah dipikirkan untung ruginya, bukan hanya menikmati untungnya, tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan. Bukan sekedar untuk prestige dan disebut modern, karena syarat memiliki kartu kredit ada seleksi ketat.
Pastinya kontrol diri, mampu mengelola diri dalam menggunakan kartu kredit menjadi kunci utama agar dapat terhindar dari “teror” telepon melalui handphone, telepon rumah dan kantor. Tidak etis juga bila teror telepon itu dibebankan teman kantor yang harus menjawab panggilan telepon di kantor, karena pemilik kartu kredit, dengan sengaja mematikan dan tidak mengangkat panggilan di HPnya.
Yogyakarta, 4 Mei 2018 pukul 18.46
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H