Menghadapi tahun ajaran baru selalu ada kesibukan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), di seluruh jenjang mulai dari TK sampai SMA/SMK. Sistem seleksi untuk TK dan SD berdasarkan usia, sedang SMP, SMA/SMK dan MAN berdasarkan zonasi. Kebijakan zonasi ini dimaksudkan agar ada percepatan pemerataan kualitas pendidikan, mengingat saat ini kualitas pendidikan masih belum merata. Masih ada disparitas antara kualitas sekolah di kota dan di desa, di P. Jawa dengan di luar P. Jawa, di Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian tengah dan timur.
Seleksi PPDB pada pada 1970 an berdasarkan tes tertulis, kemudian diganti dengan hasil Unas, rayonisasi dan saat ini dengan sistem zonasi. Setiap menteri mempunyai kebijakan yang berbeda, untuk menentukan sistem seleksi yang obyektif, jujur, transparan, dan kerkeadilan. Menurut penulis di Indonesia ada 4 (empat) golongan peserta didik yaitu:
- Peserta didik mempunyai tingkat intelektual tinggi dan orang tua mampu secara finansial, ini dapat lebih leluasa memilih pendidikan yang berkualitas.
- Peserta didik yang tingkat intelektual tinggi, tetapi orang tua tergolong kurang mampu, pemerintah memberi jatah 20 persen untuk sekolah di negeri dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).
- Peserta didik secara intelektual kurang mampu, namun orang tuanya mampu secara finansial, ini disinyalir dapat “menggoda” praktek jual beli kursi.
- Peserta didik secara intelektual kurang mampu, dan orang tuanya juga kurang mampu secara finansial. Perlu ada upaya untuk penanganannya, sehingga tidak menjadi anak-anak yang bermasalah.
Keempat golongan peserta didik mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Oleh karena itu pemerintah dengan berbagai kebijakan berusaha agar semua anak usia sekolah mendapat kesempatan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Namun masalahnya, mengingat “daya tampung” sekolah (apalagi yang favorit) itu sangat terbatas dengan jumlah lulusan, maka perlu ada seleksi.
Sistem seleksi pada tahun 1970 an dengan tes tertulis, tanpa memandang nilai NEM atau hasil UNAS. Kemudian diganti dengan sistem NEM/nilai hasil UNAS yang lebih obyektif, diganti lagi dengan sistem NEM/UNAS dan rayonisasi, dan terakhir sistem zonasi. Pastinya setiap sistem ada plus minusnya. Semuanya itu sangat tergantung dari pemerintah daerah dan Dinas Pendidikan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kebijakan dari Mendikbud. Komitmen tinggi, kejujuran, transparansi, adalah indikator untuk berhasilnya sistem seleksi dalam PPDB, apapun sistem yang ditetapkan oleh Kemendikbud.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik baru pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Mengengah Atas, Sekolah Mengengah Kejuruan, atau bentuk lain yang sederajat.
Tujuan dari PPDB menurut pasal 2 ayat 1:”untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara obyektif, transparan, akauntabel, non diskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan”. Jadi siapapun dari golongan manapun mendapat pelayanan untuk akses pendidikan bagi anak-anaknya. Harapannya tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak sekolah, karena berpotensi menilbulkan masalah di lingkungan sosialnya.
Sistem zonasi untuk sekolah negeri, wajib menerima peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar 90 % (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Dasarnya alamat pada kartu keluarga, yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB.
Dasar zona terdekat ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut, jumlah ketersedian daya tampung, dengan melibatkan kepala sekolah. Untuk sekolah yang berada di perbatasan propinsi/kabupaten/kota, ketentuan prosentase dan zona terdekat melalui kesepakatan tertulis antar pemerintah daerah. Sedang untuk yang berdomisili di luar radius zona terdekat, peserta didik dapat diterima melalui jalur prestasi, maksimal sebanyak 5 % (lima persen), atau alasan khusus karena mengikuti perpindahan domisili orang tua/wali.
Ketentuan zonasi ini hanya untuk sekolah negeri, artinya sekolah swasta “favorit” sangat mudah mendapat input peserta didik anak-anak berprestasi dan mempunyai NEM/UNAS tinggi karena tidak diterima di sekolah favorit negeri yang dituju. Sedangkan sekolah favorit “terpaksa” menerima input peserta didik anak-anak yang ada di lingkungannya, dengan prestasi pas-pasan.
Disinilah ketangguhan dan proses belajar mengajar di sekolah-sekolah favorit itu diuji untuk menghasilkan output/lulusan yang berkualitas. Inikah yang disebut dengan pemerataan kualitas pendidikan ?. Hasilnya masih harus ditunggu 3 (tiga) tahun lagi, ketika peserta didik lulus dari sekolah tersebut.
Yogyakarta, 28 Juni 2018 Pukul 12.15