Tanah termasuk harta kekayaan berupa benda yang tidak bergerak, artinya tidak bisa dipindahkan namun bisa dipindahtangankan dengan warisan, hibah, jual beli, wakaf, wasiat, tukar guling. Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (pasal 6 UU No.5 Tahun 1960 Tentang UU Pokok Agraria).
Artinya hak atas tanah yang dimiliki oleh seseorang itu bukan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, bila untuk kepentingan umum lebih memberi manfaat bagi masyarakat dan Negara, maka pemilik bersedia menyerahkan dengan “ganti rugi”, (“ganti untung ?”).
Tentunya berdasarkan kesepakatan, musyawarah yang berkeadilan, ini bukan berarti kepentingan perseorangan akan terdesak oleh kepentingan umum. Suara-suara rakyat pemilik tanah tetap menjadi bahan pertimbangan untuk mengambilan keputusan bagi pimpinan di wililayah itu.
Sesuai pasal 2 ayat 3 UU No.5 Tahun 1960:”Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya”.
Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah RI, meliputi: pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut, pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (pasal 19 ayat 1 dan 2).
Pendaftaran tanah ini untuk memberi kepastian hukum pemiliknya berdasarkan data fisik (keterangan tentang letak, batas dan luas tanah dan satuan rumah susun yang di daftar, termasuk bangunan atau bagian bangunan diatasnya), dan data yuridis (keterangan mengenai status hukum bidang tanah, dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan pihak lain serta beban-beban lainnya.
Pemerintahan Presiden Jokowi mempunyai program membagikan sertifikat tanah kepada yang berhak patut disambut dengan suka cita. Apapun arti dibalik pembagian itu bukan ranah penulis untuk membahasnya, apalagi tahun 2018 sebagai tahun politik untuk menuju tahun 2019 sebagai tahun pilpres.
Pastinya sebagai rakyat biasa mensikapi semua pesan dalam sertifikat tidak perlu menafsirkan dan dihubung-hubungkan dengan tahun 2019. Pembagian sertifikat merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas bidang tanah yang dimiliki. Tahun 2018 target 10 juta sertifikat dibagikan, suatu capaian yang baik bila dilakukan dengan semangat untuk kepentingan rakyat.
Hal ini sudah diatur dalam pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa tujuan pendaftaran tanah:”untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu baidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.Kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah”.
Program Pemerintah tentang proses pensertifikatan tanah secara masal pernah dilaksanakan pada era Orde Baru disebut Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA). Ini sebagai perwujudan dari program Catur Tertib (tertib hukum, tertib administrasi, tertib penggunaan, tertib pemeliharaan tanah lingkungan hidup) di bidang pertanahan. Proyek ini diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) No.189 Tahun 1981 tentang PRONA.