Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, berdampak pada kemudahan pelayanan yang semakin cepat, mudah, dan gratis. Semua yang dibutuhkan sudah tersedia dalam smartphone, tinggal “klik” tombol dalam waktu singkat informasi tersedia langsung di layar. Pelayanan transportasi pun sudah berbasis online seperti Grab, Uber, Gojek, sebagai konsekwensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang tidak bisa dihalangi, ditekan, dimusuhi, dilawan dengan cara apapun. Hanya ada dua pilihan mengikuti perubahan atau dipinggirkan, dengan segala konsekwensinya.
Bukankah ketika revolusi industri juga telah menggeser alat transportasi tidak bermesin seperti becak, dokar, andong, sepeda, gerobak ?. Apakah alat transportasi bukan mesin lenyap atau hilang ?. Tidak !, cuma “terpinggir tapi tidak tersingkir”, karena sudah tidak cocok untuk alat transportasi di kota metropolitas karena mobilitas penumpang yang sangat tinggi. Semua harus gerak cepat, tidak bisa santai apalagi dengan “alon-alon waton kelakon (Jw)”, artinya pelan-pelan asal terlaksana.
Namun becak, andong dan sepeda di Yogyakarta masih dipertahankan, bahkan sebagai “ikon” dari Kota Yogyakarta. Andong (kereta kuda) menjadi kendaraan eksklusif bagi para wisatawan di jalan Malioboro Yogyakarta, selain becak dan sepeda. Namun untuk andong karena ditarik oleh kuda, maka kebersihan kotorannya juga diperhatikan agar tidak berceceran di jalan raya. Selain merusak pemandangan juga sangat tidak baik untuk kesehatan.
Saat ini ada alat transportasi berbasis daring wajar saja karena tuntutan zaman “now” yang menghendaki kemudahan, kepraktisan, dan kecepatan. Agar tidak terjadi benturan kepentingan antara alat tranportasi daring dengan konvensional, maka negara harus hadir, dengan sikap arif, bijaksana, adil, melindungi. Permasalahan yang muncul perlu ada mediasi yang “win-win solution”, tanpa ada yang dirugikan hak pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi harkat dan martabat sebagai manusia.
Regulasi yang obyektif, melindungi kepentingan rakyat kebanyakan (bukan kepentingan orang perorangan yang berkantong tebal), diyakini dapat meredakan perselisihan yang sering terjadi di berbagai daerah. Kuncinya adalah musyawarah untuk mufakat, semua didengarkan keluh permasalahannya, dicarikan pemecahan yang intinya tetap menjadi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang mempunyai dasar negara Pancasila dan UUD 1945.
Disisi lain transportasi konvensional dan daring semestinya hidup berdampingan, karena masing-masing mempunyai pangsa pasar sendiri. Lebih meningkatkan pelayanan untuk konsumen yang menginginkan transportasi yang aman dan nyaman. Aman karena masing-masing menjalankan kewajiban dan haknya sesuai dengan kesepakatan. “Aman” menurut KBBI berarti bebas dari bahaya, gangguan, terlindungi, pasti, tidak meragukan tidak mengandung resiko, tenteran, tidak merasa takut atau khawatir. Sedang kata “nyaman”, berarti enak, disini nyaman itu tidak ada gangguan yang dapat mengancam keselamatan jiwa, raga, dan harta.
Ketika naik transportasi konvensional rasa aman dan nyaman itu tidak dapat dirasakan karena copet, pengamen, pengasong, pengemis, perampok, kehadiran transportasi daring menjadi pilihan yang dapat memberi rasa aman dan nyaman. Namun belakangan ini “terusik” oleh ulah “oknum” pengemudi yang mempunyai “niat” tidak baik dengan mencekakan penumpang hanya untuk kepuasan sementara.
Kondisi ini dapat berdampak “mengurangi” rasa aman dan nyaman untuk menggunakan jasa transportasi daring yang selama ini dikenal mempunyai kelebihan banyak dibanding transportasi konvensional. Walau tindak kejahatan dapat mudah dilacak dengan mencari identitas pengemudi, namun kehilangan nyawa dan kehormatan tidak bisa kembali.
Kepercayaan masyarakat untuk transportasi daring semestinya tidak “dinodai” dengan tindakan kriminal “oknum” yang akan merugikan para penumpang. Untuk itu perlu tindakan preventif dalam merekrut pengemudi transportasi daring. Selain identitas pribadi yang jelas, yang mudah dilacak, identitas kendaraan yang digunakan untuk alat transportasi juga harus jelas.
Peralihan massal memanfaatkan transportasi daring yang diakui mempunyai kelebihan pada pelayanan, murah, cepat, dan mudah untuk memesan menjadi alasan generasi “now” untuk menentukan pilihan. Tidak ada alasan sebenarnya untuk memusuhi, membenci, melarang, menghalangi beroperasinya transportasi daring. Kalau kompetitor transportasi konvensional bisa menarik konsumen, karena bisa “membaca” apa yang dibutuhkan dan diinginkan komsumen.
Ini tantangan bagi transportasi konvensional, sanggupkah melakukan inovasi dan perubahan, agar dapat “memanusiakan” penumpang ?. Minimum menghargai penumpang sebagai manusia, bukan barang. Persaingan yang sehat dan kompetitif karena saat ini yang dibutuhkan adalah rasa aman dan nyaman dalam menikmati perjalanan.
Bagi transportasi daring, yang sudah menjadi “favorit” dan merebut hati konsumen, kemananan, kenyamanan penumpang menjadi modal utama yang wajib dipertahankan. Kalaupun ada yang “tega” melakukan tindak kejahatan, ini dapat menjadi “nila setitik, rusak susu sebelanga”. Jadi berpikirlah sejuta kali untuk bertindak, sebelum sesal dikemudian hari.
Yogyakarta, 1 April 2018 pukul 15.29
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H