Rasa kasih sayang itu naluri yang dimiliki oleh setiap orang sejak masih dalam rahim seorang ibu yang sedang mengandung. Hubungan batin, ibu dan janin yang dikandung melalui plasenta berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya. Asupan gizi, suasana batin ibu, rasa kasih sayang dan kehangatan keluarga besarnya, dapat dirasakan oleh janin. Anak yang lahir dari ibu yang penuh kasih sayang dan kehangatan dari keluarga, mempunyai kepribadian, karakter, rasa solidaritas, toleransi, empati dan rasa kasih sayang terhadap sesama.
Hal ini adalah kondisi normal dan ideal yang seharusnya dirasakan oleh setiap anak. Masalahnya, tidak semua anak dapat merasakan kasih sayang dan kehangatan keluarga, karena kematian, perceraian, dan pernikahan baru orangtuanya. Apakah anak yang kehilangan kasih sayang dan kehangatan keluarga, kelak dapat menjadi orangtua (ibu) yang penuh kasih sayang dan dapat menciptakan kehangatan keluarga ?.
Kisah nyata ini dialami oleh gadis kecil usia 4 tahun (1961), yang menjadi piatu, karena kematian ibunya akibat terpelecet di lantai sumur saat mencuci. Benturan di kepala menyebabkan ibu menghembuskan nafas terakhir tanpa sempat mendapat perawatan dokter. Anak ketiga dari empat besaudara tersebut tumbuh kembang tanpa dekapan, kasih sayang, belaian, dari ibu yang melahirkan. Sedang bapaknya sebagai PNS di Pegadaian menikah lagi dengan janda beranak satu. Dari pernikahan kedua ini tidak ada keturunan. Dogeng kejamnya ibu tiri secara fisik tidak dirasakan, namun psikis gadis kecil itu "terluka", karena perhatian sang bapak "terenggut". Akibatnya anak itu kehilangan kasih sayang kedua orangtuanya, walau hidup satu rumah yang ada kakek dan nenek dari bapaknya.
Namun jiwa yang hampa, gersang, tanpa arahan, pendidikan agama, budi pekerti, tidak merasakan  kehangatan keluargadan kasih sayang kedua orangtua, kondisi dan suasana "broken home" menjadi pimicu semangat semangat untuk merubah nasib. Tekun, rajin belajar, "laku prihatin", puasa Senin - Kamis, sholat malam, selalu memohon kekuatan kepada Alloh SWT. Bapaknya masih ada perhatian dengan memberi biaya sekolah dan kebutuhan lain dari SD sampai perguruan tinggi, namun dominasi "ibu tiri" sering mengurangi dan melukai hatinya, karena perlakuan tidak adil.
Dari empat bersaudara, satu-satunya yang dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kakak sulung tidak tamat SMP, langsung menikah. Kakak kedua dan adik bungsu setelah lulus SMK langsung bekerja di perusahaan obat di Jakarta. Â Adik bungsu masuk bintara Angkatan Udara yang penempatannya berpindah-pindah (Solo, Tanjungkait Mauk Tangerang, Ranai Natuna). Tinggal di rumah bersama kakek, nenek, bapak, ibu tiri, dan saudara sepupu. Hari-hari, di rumah terasa sepi, tidak ada teman diskusi dan menumpahkan keluh kesah. Buku harian menjadi tempat menumpahkan kerinduan dengan ibunya dan orang-orang terkasih. Untuk mengusir kegundahan hati, sering menginap di rumah saudara sepupu, dan sahabatnya yang satu fakultas hukum.Â
Ilmu parenting hanya didapat dari membaca buku, dan nasehat dari orang-orang yang sudah berpengalaman. Selanjutnya adalah improvisasi sendiri dalam melakukan pengasuhan, interaksi, komunikasi, menerapkan aturan keluarga, mengajarkan etika, kebiasaan, pola hidup dan pola asuh. Ibu menjadi pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya dalam menanamkan kebiasaan, prinsip beragama, sopan santun, etika, kasih sayang, jiwa sosial, toleransi, tolong menolong, menghargai pendapat, musyawarah, dan berdemokrasi.Â
Orangtua menjadi figur utama bagi anak-anaknya, yang selalu mencontoh apapun yang dilakukan. Walau ada masa indah yang "hilang", ketika berkumpul, komunikasi efektif, menanamkan disiplin, mengenalkan agama, etika, sopan santu, dan  kebiasaan positif, tetap dapat dilakukan. Kebiasaan positif dimulai yang sederhana, membuang sampah pada tempatnya, bertanggung jawab membereskan mainan, menjalankan perintah agama, menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulis. Membiasakan semua yang positif dimulai dari rumah yang menjadi "laboratorium" kehidupan di sekolah dan masyarakat. Misal membuang sampah pada tempatnya, memberekan mainan, menyayangi adik, menghormati kakak, kebiasaan "berbagi", tidak mengambil hak orang lain, jujur, dan lain-lain.
Ibu menjadi pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya sudah tidak bisa ditawar lagi, sesibuk apapun luangkan waktu. Anak tidak seharusnya mendapat sisa waktu ketika orangtua sudah kecapaian dari tempat kerja. Sangat tidak bijaksana orangtua sibuk diluar rumah, anak-anak "dibiarkan" pengasuhan dan pendidikan diserahkan asisten rumah tangga, apalagi TV, dan lingkungan yang tidak kondusif. Bagaimanapun asisten rumah tangga, sekedar membantu bukan sebaliknya menjadi pengasuh pertama dan utama anak-anak.Â
Ibu berhak menentuan dan memilihkan pendidikan anak-anaknya di TK dan SD, yang menekankan ada pembekalan ilmu agama, dan terbukti berpengaruh untuk fondasi hidupnya. Tahun 90 - 95 gangguan gadget belum mengkhawatirkan, namun tayangan TV dan permainan "play station" sudah sangat meresahkan. Ibu tetap harus mendampingi anak-anaknya menonton TV, sambil menyeleksi tayangan yang tidak baik. Tayangan makan dengan tangan kiri dan sambil berdiri, berkata kasar, egois, adegan kekerasan, dan sinetron dengan cerita tidak realistis, ibu harus bisa mengkomunikasikan dengan bahasa anak bahwa hal itu tidak sopan dan tidak baik.Â
Keteguhan ibu untuk tidak ada permaianan "play station" di rumah, diganti kebiasaan mengajak anak-anak ke pameran buku, melanggankan majalah yang digemari, memberikan "buku pintar yunior dan senior", membuahkan hasil menambah wawasan dan pengetahuan. Masa SMP dan SMA kebiasaan berbagi itu mulai diterapkan oleh anak-anaknya, dengan mengundang buka bersama, dan menjadikan rumahnya sebagai "base camp" bagi teman-teman sekolahnya. Anak diberi kebebasan untuk bergaul dengan semua orang, namun ketika sudah mulai ada tanda-tanda pengaruh yang tidak baik, harus segera bertindak tegas dan bijaksana. Menjaga untuk tidak memarahi anak di depan teman-temannya, untuk menghindari rasa "malu" dan "harga diri" yang terusik.
Kini ibu yang masa kecilnya kehilangan kasih sayang dan kehangatan keluarga, terbukti dapat menciptakan suasana  kehangatan keluarga dan kasih sayang untuk anak, cucu, dan mantu saat berkumpul bersama setiap Hari Raya Idul Fitri. Keseruan saat masak, dan makan bersama menjadi momen indah yang tidak terlupakan sampai kapanpun. Walaupun dua (2) anak sudah mandiri, di luar kota (Jakarta), dan mengikuti suami di Yogyakarta,  anak ketiga di Menado, anak keempat masih kuliah di Yogya, kasih sayang dan kehangatan keluarga itu tetap terjaga dengan gadget untuk mendekatkan yang jauh, tanpa menjauhkan yang dekat.
Yogyakarta, 11 Maret 2018 jam 10.05
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H