Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Profesi Pustakawan di Mata Najwa

16 Maret 2018   13:29 Diperbarui: 16 Maret 2018   17:03 1112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: dev.perpusnas.go.id

Tunjangan fungsional pustakawan sebesar Rp 350.000 (pustakawan pelaksana) s.d Rp 1.300.000,- (pustakawan utama), dapat pensiun sampai 65 tahun (pustakawan utama), bisa naik pangkat setiap 2 (dua) tahun, tidak perlu ujian dinas untuk pindah golongan, dan tunjangan kinerja (tukin) yang lebih besar dari tunjangan struktural, menjadi alasan kuat para birokrat untuk "mengganjal" laju karier pustakawan. Alasannya birokrat itu tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan profesi pustakawan.

Perilaku para birokrat yang menderita penyakit hati "iri, dengki", senang bila orang lain menderita, dan sedih bila orang lain bahagia, dengan kekuasaan dan kelicikan dapat memutar balikkan fakta, data, informasi untuk merugikan orang lain. Apalagi oleh Najwa Shihab pustakawan disejajarkan dengan "pahlawan" ilmu pengetahuan. 

Dapat membayangkan wajah-wajah "sinis" para birokrat yang berpenyakit hati itu semakin merendahkan dan mengejek pustakawan karena "kelas sosialnya" lebih rendah dari para birokrat. Birokrat yang sombong, egois, maunya dipuja puji, dihormati, dengan atasan asal bapak senang (ABS), atau asal ibu senang (AIS) dengan bawahan menginjak, dan dengan teman sejajar menyikut kanan, kiri, masih pantaskah berkuasa diera reformasi ini ?.

Profesi pustakawan yang altruisme (KBBI) berarti mempunyai paham (sifat) lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain (kebalikan dari egoisme), sikap yang ada pada manusia, yang mungkin bersifat naluri berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada manusia lain. Pustakawan, dengan kompetensi yang diperoleh dari pendidikan dan diklat kepustakawanan mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. 

Apapun yang terjadi dengan profesi pustakawan, pengelolaan dan pelayanan kepada pemustaka (pengguna perpustakaan) tetap berjalan terus. Bahkan ketika seorang pustakawan sudah "dibunuh" karakter dan kariernya, jiwa pustakawan tetap hidup dan tumbuh subur dihati para generasi milenial penerusnya. Walau diakui ada pustakawan yang mencari "aman" demi kelangsungan karier dan jabatan dengan "menggadaikan" harga diri profesi dan harapannya.

Saat ini profesi pustakawan sedang menghadapi para birokrat yang tidak memahami tugas dan tanggung jawab pustakawan, di era revolusi TI, era disrupsi 4.0 dimana perkembangan teknologi digital semakin masif, perubahan sangat cepat , fundamental dan tidak linier. Pustakawan mendapat tantangan dan peluang unuk terus eksis di dunianya, walau dianggap sepele, sepi, dan tidak memberi kontribusi untuk institusi. 

Namun diakui, ketika ada akreditasi, nasional dan/atau internasional, pustakawan sibuk menyiapkan data dan mendapat cercaan pertanyaan dari para asesor. Para birokrat hanya "manggut-manggut", bangga (sesaat) mempunyai pustakawan yang dapat menambah angka (nilai) akreditasi sehingga muncul huruf "A", "B" untuk program studi/departemen, fakultas, universitas, dan lembaga perpustakaan. Namun ketika asesor pergi, nilai akreditasi ditetapkan, maka pustakawan dibiarkan sepi, sunyi, sendiri, untuk menyelesaikan masalah profesi dan kariernya, tanpa ada dukungan dan pembelaan institusi tempat mengabdi.

Para birokrat "lepas tangan", tidak peduli, apalagi simpati, pustakawan berjalan tertatih di lorong gelap tidak berujung. Profesi pustakawan menjadi "obyek" yang mudah diperalat untuk kepentingan "politik birokrasi", sehingga loyalitas, pengabdian untuk ilmu pengetahuan menjadi "terkikis" untuk kepentingan birokrat yang hanya "sesaat". Para birokrat akan sangat "murka" bila ada pustakawan yang "berani" melawan arogansi kekuasaannya. 

Walaupun ada indikasi "mal administrasi", akan dihadang dengan "mengaburkan, memelintir data, fakta, informasi, dan dengan bangga tanpa rasa bersalah mengatakan bahwa:"pustakawan itu gagal mencapai jabatan utama karena "terlambat" mengirimkan berkas. Padahal realitanya, keterlambatan disengaja oleh birokrat yang mengurusi, dengan cara didiamkan/dihentikan, dihilangkan berkas, yang akhirnya masuk batas usia pensiun (BUP). Skenario yang sangat cantik, teroganisir, terstruktur, dan konstitusional.

Perpustakaan Nasional sebagai lembaga yang membina profesi pustakawan sudah berjuang sekuat tenaga. Badan yang mengurusi kepegawaian nasional dengan diplomasi, dan loby tingkat tinggi berusaha memperjuangkan, namun tetap kandas. Upaya lapor lembaga Ombusdman, yang awalnya mulus, ditengah jalan dipengaruhi secara konstitusional dan argumen "licik"para birokrat yang "kebakaran jenggot", karena terusik integritas dan kekuasaannya, sehingga gagal juga. Masih ada upaya PTUN/PN, namun dengan berbagai pertimbangan plus minus, akhirnya diputuskan untuk "mengalah", namun sejatinya "menang" secara hakiki, karena dapat menata hati untuk melawan ambisi pribadi.

Ada tiga (3) lembaga yang "sengaja" tidak memuluskan jalan terjal, berbatu, dan bergelombang yang dilalui pustakawan untuk menggapai asa. Kondisi ini mulai dirasakan oleh profesi pustakawan madya menuju utama, di berbagai PTN di Indonesia dengan berbagai kasus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun