Roger Bacon ahli filosofi dan ilmuwan di Inggris berpendapat:"Nam et ipsa scientia potestas est", pengetahuan adalah kekuatan. Pengetahuan sebagai senjata untuk mengalahkan persaingan dalam kompetisi global. Masyarakat berpengetahuan (knowlegde society), terbentuk bila ada daya dukung perpustakaan, buku, pustakawan dan budaya literasi tinggi.Â
Keberadaan perpustakaan sebagai cerminan peradaban dan budaya bangsa, tinggi rendahya peradaban  dan budaya suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi perpustakaan yang dimiliki. Kita bangga Perpustakaan Nasional RI yang diklaim tertinggi di dunia, telah diresmikan oleh Presiden Jokowi tanggal 14 September 2017, bertepatan dengan Hari Kunjung Perpustakaan.
Perhatian Presiden Jokowi ini semestinya menjadi titik pijak kebangkitan perpusakaan di Indonesia, karena telah memerintahkan dana desa dapat dimanfaatkan sebagaian untuk perpustakaan desa. Tahun 2018 pemerintah sudah menyiapkan Rp 60 triliun dana desa untuk 74.754 desa di seluruh Indonesia. Tantangan dan peluang bagi Perpustakaan Nasional sebagai pembina perpustakaan dan pustakawan di Indonesia.Â
Tantangan, mewujudkan perpustakaan sebanyak 74.754 buah, yang menjadi binaannya, selain perpustakaan perguruan tinggi, Â perpustakaan sekolah dan perpustakaan khusus. Ada peluang dan harapan lulusan program studi ilmu perpustakaan dan informasi yang tersebar di 32 perguruan tinggi dapat terserap di perpustakaan desa. Data Perpusnas (2016) ada 23.281 (30 persen) perpustakaan desa/kelurahan dari 77.095 desa/kelurahan di Indonesia.Â
Perpustakaan kabupaten/kota 497 (97 persen) dari 514, perpustakaan sekolah/madrasah 258 ribu lebih, baru ada 118.599. Di perguruan tinggi dari 4.297 telah ada 2.428 (56,50 persen). Perpustakaan khusus di instansi pemerintah/swasta sebanyak 389.257 baru ada 9.000 (2,31 persen). Perpustakaan rumah ibadah, lebih dari satu juta, baru terbentuk 3.000 dan komunitas baru 780-an.
Perpustakaan dan Literasi
UU No.43/2007 tentang Perpustakaan mengamanatkan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat. Membangun perpustakaan perlu biaya besar dan hasilnya tidak cepat terlihat, tetapi membangun perpustakaan berarti membangun peradaban. Budaya literasi tinggi membentuk masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Perpustakaan sebagai wahana menumbuh kembangkan literasi di Indonesia, mengoleksi berbagai jenis pustaka.Â
Pustakawan sebagai mesin  perpustakaan, di Indonesia baru ada 3.194 orang (status PNS 2.986 orang dan swasta 208 orang), yang sudah bersertifikat kompetensi 492 orang, sebagai profesi langka bila dibandingkan jumlah penduduk 265 juta orang. Rasio ideal setiap 500 orang dilayani oleh 1 orang pustakawan, artinya dibutuhkan 530.000 pustakawan, baru tersedia 3.194 orang (0,6026 persen).Â
Masalahnya lulusan program studi ilmu perpustakaan belum terserap menjadi pustakawan karena moratorium PNS, dan komitmen pemerintah belum maksimal. Akibatnya terjadi penggangguran calon pustakawan, sementara orang yang bekerja di perpustakaan kualifikasi dan kompetensi ilmunya bukan ilmu perpustakaan namun hanya mendapat diklat selama tiga (3) bulan di Perpustakaan Nasional RI.Â
Di sisi lain, persoalan literasi bukan sekedar "melek" huruf, tapi menyangkut berpikir kritis, logis, bertindak etis, dan beradab. Pembentukan soft skill dan karakter yang sudah dilegalkan dengan Perpres No.87/2017 tentang Penguatan Pembentukan Karakter (PPK). PPK sebagai harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga yang melibatkan sekolah, keluarga dan masyarakat.Â
PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter diantaranya gemar membaca. Literasi bukan sekedar baca-tulis tetapi berpikir kritis dan bertindak etis. Artinya dari berliterasi dapat menumbuhkan nilai religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli sosial, lingkungan dan bertanggung jawab.Â
 Membangun peradaban dengan pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara ada tiga pusat pendidikan (Tripusat Pendidikan), yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan kemasyarakatan. Tripusat pendidikan ini berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang. Sayangnya di era digital ini, tatanan sosial dalam kehidupan manusia  mengalami perubahan mendasar sejak gadget menjadi  basis dalam melakukan kegiatannya.Â
Pemanfaatan gadget telah merubah perilaku dan peradaban manusia secara mendunia. Hubungan antar manusia yang tanpa batas (bordeless), berpengaruh secara signifikan dan sangat cepat terhadap perubahan sosial, ekonomi, budaya, politik, demokrasi, pendidikan, dan transportasi. Memanfaatkan teknologi informasi wajib  mempunyai "pengetahuan dan kecerdasan" emosional, spriritual dan intelektual. Memanfaatkan teknologi sangat tergantung dari "suasana batin" pemiliknya, sehingga dapat berliterasi secara positif, berkreasi, berinovasi, meningkatkan kompetensi. Semua ini agar menjadi bangsa yang cerdas, beretika dan beradab,  yang disegani bangsa-bangsa lain di dunia.
Yogyakarta, 13 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H