Mohon tunggu...
Sri Rumani
Sri Rumani Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Rakyat kecil, bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa kecuali Alloh SWT yang sedang berjalan dalam "kesenyapan" untuk mendapatkan pengakuan "profesinya". Sayang ketika mendekati tujuan dihadang dan diusir secara terorganisir, terstruktur, dan konstitusional... Email:srirumani@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hikmah Kerja di "Tempat Buangan" Bernama Perpustakaan

19 Februari 2018   19:31 Diperbarui: 20 Februari 2018   18:36 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang anak sedang membaca buku di sanggar Ruang Kreatifitas Anak Tanah Ombak, Kampung Purus 3, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu (16/7/2017). (KOMPAS.com / RAMDHAN TRIYADI BEMPAH)

Manusia mempunyai rencana, namun otoritas mutlak untuk menentukan adalah Alloh SWT, termasuk tempat bekerja.

Tidak pernah terlintas dalam benak seorang sarjana hukum dari universitas tertua di Indonesia bekerja di tempat "buangan". Bayangan awal setelah lulus SH dengan bekal ilmu selama kuliah dapat bekerja di tempat yang bergengsi dengan kantor megah. Namun kenyataan yang diterima mendapat tugas di perpustakaan, dimana persepsi orang waktu itu memandang sinis, remeh, acuh, menyepelekan, dan memberi cap "tempat buangan". Bahkan anak-anak pun selalu mengatakan di perpustakaan itu pekerjaannya sebagai "penjaga buku".

Masih ingat dengan jelas bapak Munawar (alm) bagian kepegewaian mengatakan untuk menjalani tugas ini siapa tahu ada hikmahnya. Awalnya memang gamang bekerja di perpustakaan karena bukan bidangnya dan belum mepunyai pengalaman kerja. Akibatnya ada "penolakan dari hati", sehingga bekerja sekedar menggugurkan kewajiban agar jam kerja terpenuhi, tanpa rencana, target, strategi pencapaian, evaluasi, hanya menjalankan "rutinitas". Kondisi ini berlangsung dari tahun 1986 - 1989, tanpa ada yang mengarahkan, membimbing, mengawasi, namun inisiatif sendiri untuk bertanya kepada pegawai senior yang sudah berpengalaman tanpa pernah merasa malu walau pendidikan dibawahnya.

Waktu itu pekerjaan dilakukan dengan sistem manual, dengan mesin ketik. Pekerjaan yang dilakukan menginvertaris majalah, skripsi, mengetik kartu katalog di kertas ukuran 12,5 x 7,5 cm berlubang di tengah bawah, mendaftar anggota perpustakaan, mengetik kartu anggota, memungut dan mencatat denda, melayani sirkulasi, bebas pustaka. Hal ini mustahil dialami oleh pegawai generasi jaman "now", yang sudah memanfaatkan teknologi informasi untuk merubah sistem konvensional menjadi modern dan canggih.

Tahun 1989 hikmah pertama mulai dirasakan dengan kesempatan tugas belajar di Universitas Indonesia Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya/FIB), Jurusan Ilmu Perpustakaan (JIP) program S1 Khusus untuk "pustakawan hukum". Alasan perlu ada pustakawan hukum karena kondisi perpustakaan hukum yang menyediakan "informasi hukum" sangat memprihatinkan. Padahal informasi hukum sangat penting untuk acuan dosen fakultas hukum, penegak hukum (hakim, jaksa, dan pengacara), mahasiswa hukum, dan masyarakat.

Akibatnya untuk mencari informasi hukum memerlukan waktu lama dengan biaya mahal. Apalagi Indonesia sebagai negara hukum, produksi informasi hukum berupa peraturan perundang-undangan dari pusat sampai daerah ribuan per hari. Bagimana mengelola, menyimpan, menemukan kembali informasi hukum dengan cepat dan tepat ?. Oleh karena itu sangat di perlukan pustakawan hukum yang mempunyai latar belakang ijasah ilmu hukum, karena memahami "pohon ilmu hukum".  Namun kenapa tidak ada pustakawan ekonomi, politik, sejarah, dan lain-lain?. Karena yang membuka program S1 khusus waktu itu hanya ilmu hukum,bukan ilmu lainnya. Oleh karena itu program S1 khusus pustakawan hukum"double degree"ini syaratnya S1 lulusan ilmu hukum.

Hikmah kedua adalah mendapat kesempatan untuk "job training" atau pelatihan kerja di Leiden Belanda selama satu (1) bulan penuh. Hal ini tidak pernah terbayangkan sebelumnya, ketika masuk kuliah di JIP FIB UI, jadi sungguh "surprise". Kesempatan ini hanya diberikan untuk empat (4) orang yaitu utusan FH UGM, FH UI dua orang, dan FH Unair yang lulus tepat waktu 4 smester dengan 53 SKS. Biaya transpot Jakarta - Amesterdam pergi pulang, akomodasi selama di Leiden, makan di hotel dan diberi uang saku ditanggung IGGI (Inter-Govermental Group on Indonesian), yang anggotanya  Australia, Belgia, Kanada, Prancis, Jerman, Belanda, Inggris, AS, Italia, Selandia Baru, Austria, Swiss, dan Spanyol.

Selama berada di Leiden dari Indonesia didampingi oleh dosen senior JIP FIB UI, Ibu Lily K. Somadikarta, MSc (almh). Tempat pelatihan di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Utrecht Leiden Belanda. Selain itu berkunjung ke perpustakaan Nasional Belanda (Koninklijke Bibliotheek), perpustakaan Van Vollenhoven, perpustakaan Departemen Kehakiman, perpustakaan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde), sebuah lembaga ilmiah yang didirikan pada tahun 1851, perpustakaan Mahkamah Internasional.

Di hari Sabtu, Minggu dan waktu luang dimanfaatkan untuk berkunjung ke Rijksmuseume(ada koleksi Rembrandt,  Van Gogh terkenal dengan lukisan bunga matahari (sunflower), Kanal Amsterdam, taman bunga Keukenhof, taman mini di Madurodam, pantai Scheveningendi Den Haag. Selain itu ke Belgia dan Perancis (menara Eiffel, Arch de Triomphe, Museum Lauvre, Katedral Notre Dame, Montmartre, menyusuri Sungai Sein, istana Versailles tempat Napoleon Bonaparte. 

Hikmah ketiga, karena bekerja di perpustakaan yang menjadi "gudang ilmu", hobi membaca tersalurkan. Menulis awalnya belum menjadi hobi, karena tidak pernah melakukan kecuali menulis skripsi. Namun dukungan, semangat dari para dosen di Fakultas Hukum UGM yang sering ke perpustakaan seperti bpk. Wahyu Widodo, bpk Herry Iswanto (alm) dan khususnya bpk Moch. Fajrul Falaakh (alm), agar memanfaatkan ilmu yang ada di perpustakaan dengan menulis. Awalnya gamang karena di Yogya banyak orang pinter, apakah mampu? Itulah yang berkecamuk dalam batin ini, belum pernah mencoba "merasa" tidak bisa, berarti sudah kalah sebelum maju.

Waktu itu (1991) lulusan sarjana ilmu perpustakaan masih sangat langka, seorang dokter gigi Ircham Machfoedz meminta  untuk berceramah tentang perpustakaan di depan perkumpulan jamaa'ah haji Indonesia dan dosen Poltekes Kemenskes Yogyakarta. Materi ceramah dimuat di majalah "Lazuardi" media dari perkumpulan jama'ah haji Indonesia. Mulai dari sinilah semangat menulis itu menyala, sehingga dimuat di berbagai surat kabar seperti KR, Majalah Mitra Desa, Bernas, Kompas. Selain itu muncul semangat untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah populer, sumbang saran, dan hibah kompetisi. Terbukti menulis tidak perlu bakat, namun kemauan, kemampuan dan kesempatan (K3). Semua orang mampu menulis karena sudah bisa membaca, tinggal kemauan dan kesempatan yang perlu terus dinyalakan api semangat itu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun