Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuliah Tidak Wajib, Lulus SMA Kerja Apa? Ini Pengalaman Saya

21 Mei 2024   14:33 Diperbarui: 21 Mei 2024   14:36 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi UKT tinggi. Foto dari shutterstock lewat Kompas.com

Saya merasakan uang kuliah sejak dulu mahal, itu sebabnya lulus sekolah menengah atas (SMA) mandeg. Padahal mimpi saya tinggi, ingin kuliah di IKIP Bandung. 

Saya memahami tanggungan Bapak masih banyak, ketiga adik masih duduk di SMA dan SMP, mereka butuh biaya. "Kuliah tidak wajib, lulusan SMA masih bisa mendapat pekerjaan." Begitulah kata Bapak.

Namun, saya kesulitan mendapat pekerjaan dengan ijazah SMA meski nilai di atas delapan. Lamaran pekerjaan ke setiap pabrik di Bandung selalu ditolak. Hal ini karena saya tidak memiliki keahlian, keterampilan yang bisa diandalkan. 

Berbulan-bulan menggantungkan hidup dari belas kasihan kerabat jauh. Sebagai ucapan terima kasih karena telah diizinkan tinggal di rumahnya, saya membantu pekerjaan rumahnya 

Seperti dikatakan tadi lulusan SMA benar-benar tidak ada bekal yang bisa diandalkan untuk bekerja di perusahaan. Untuk menambah keahlian, saya pun ikut kursus menjahit secara gratis di kantor desa setempat. Dari bekal itu bisa bekerja di sebuah konveksi  pembuatan jaket. 

Saya terus menambah keahlian dengan belajar komputer. Lagi-lagi secara gratis dengan menggunakan fasilitas kantor, saat itu sudah pindah  bekerja di salah satu SMK Negeri di Bandung. Dengan keterampilan mengoperasikan komputer dan menjahit saya bisa membantu orang tua membiayai kuliah adik di UPI.

Tahun 2000 biaya kuliah adik pun bagi saya mahal. Uang Kuliah Tungga (UKT) sebesar Rp600.000 sementara gaji honor saya Rp300.000 per bulan. Tak jarang untuk membayar UKT, saya meminjam uang ke koperasi dan teman, juga bekerja sampingan.

Meski utang sana sini, saya bertekad adik-adik harus kuliah agar mereka berilmu dan tidak kesulitan mendapat pekerjaan. Hingga saya lupa dengan mimpi sendiri karena asyik bekerja. 

Sekarang saya sudah mampu dan tidak perlu utang sana sini. Secara materi sanggup untuk kuliah di swasta, tetapi mimpi saya sudah terkubur dan tanggung jawab sudah berbeda. Akan tetapi saya terus mencari ilmu dengan ikut berbagai kegiatan, seminar, kelas online, membaca.

Kewajiban saya sekarang adalah memberi pendidikan terbaik untuk anak-anak. Meski pemerintah tidak mewajibkan anak-anak Indonesia kuliah, bagi saya wajib, Anak-anak pun memiliki hak untuk mendapat ilmu. Dengan pendidikan formal anak-anak bisa berkembang. 

Kuliah Tidak Wajib, Kenapa UKT Mahal?

Si sulung yang sekarang kuliah di UNAIR (Universitas Airlangga) semester 4 membayar UKT sebesar Rp8 juta. Nilai tersebut diperoleh setelah daftar ulang dengan menyertakan foto rumah bagian depan, dapur, surat penghasilan orang tua. Besaran UKT setiap anak berbeda, hal ini tergantung dari penghasilan orang tua, juga jurusan yang diambil. 

Berdasarkan informasi, pihak UNAIR memberi kesempatan mahasiswa untuk mengajukan keringanan. Keringanan nantinya bisa berupa angsuran, penangguhan atau penurunan. Akan tetapi saya tidak melakukan itu karena tidak ada masalah dengan keuangan. Saya siasati dengan menabung setiap bulannya Rp1,5 juta. Ketika waktunya bayar UKT uang sudah terkumpul.  

Untuk tahun 2024 berdasarkan informasi dari berbagai media UNAIR tidak menaikkan UKT.  Bahkan beberapa prodi ada yang turun.

Miris sekali mendengar isu kalau UKT di beberapa perguruan tinggi naik. Hal ini salah satu alasan klasik orang tua dan anak enggan kuliah. Meski sebenarnya biaya kuliah bisa menyesuaikan penghasilan orang tua. Namun, permasalahan bukan besaran UKT saja. Untuk siswa luar kota tentunya ada biaya kos, biaya hidup dan lain-lain. 

Seperti yang dialami tetangga saya. Dia mendapat UKT minim, tetapi setiap bulan orang tuanya harus mengirim uang kos sebesar Rp650 ribu, uang makan untuk sehari-hari. Sementara bapaknya sebagai buruh bangunan. Namun, saya salut dengan tekadnya mencari ilmu. Ketika niat baik akan ada jalan menuju sukses. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun